Bisnis Mudah Daftar 100% Gratis Kerja Gambang Hasil Luar Biasa. Isi: Hai ada bisnis menarik dan luar biasa dasyat nih!! Di sini kita bisa Mendapatkan Rp. 277.777.778.500,- Lebih Dengan Modal 100% GRATIS!! 100% MUDAH, 100% BEBAS RESIKO! Kerjanya? Sangat mudah! Untuk info Lengkapnya Kunjungi : http://gajigratis.com/?ref=pastiada

Kamis, 29 April 2010

A. Demokrasi, HAM, dan Negara
HAM dan demokrasi merupakan konsepsi kemanusiaan dan relasi sosial yang dilahirkan dari sejarah peradaban manusia di seluruh penjuru dunia. HAM dan demokrasi juga dapat dimaknai sebagai hasil perjuangan manusia untuk mempertahankan dan mencapai harkat kemanusiaannya, sebab hingga saat ini hanya konsepsi HAM dan demokrasilah yang terbukti paling mengakui dan menjamin harkat kemanusiaan.
Konsepsi HAM dan demokrasi dapat dilacak secara teologis berupa relativitas manusia dan kemutlakan Tuhan. Konsekuensinya, tidak ada manusia yang dianggap menempati posisi lebih tinggi, karena hanya satu yang mutlak dan merupakan prima facie, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Semua manusia memiliki potensi untuk mencapai kebenaran, tetapi tidak mungkin kebenaran mutlak dimiliki oleh manusia, karena yang benar secara mutlak hanya Tuhan. Maka semua pemikiran manusia juga harus dinilai kebenarannya secara relatif. Pemikiran yang mengklaim sebagai benar secara mutlak, dan yang lain berarti salah secara mutlak, adalah pemikiran yang bertentangan dengan kemanusiaan dan ketuhanan.
Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan seperangkat hak yang menjamin derajatnya sebagai manusia. Hak-hak inilah yang kemudian disebut dengan hak asasi manusia, yaitu hak yang diperoleh sejak kelahirannya sebagai manusia yang merupakan karunia Sang Pencipta. Karena setiap manusia diciptakan kedudukannya sederajat dengan hak-hak yang sama, maka prinsip persamaan dan kesederajatan merupakan hal utama dalam interaksi sosial. Namun kenyataan menunjukan bahwa manusia selalu hidup dalam komunitas sosial untuk dapat menjaga derajat kemanusiaan dan mencapai tujuannya. Hal ini tidak mungkin dapat dilakukan secara individual. Akibatnya, muncul struktur sosial. Dibutuhkan kekuasaan untuk menjalankan organisasi sosial tersebut.
Kekuasaan dalam suatu organisasi dapat diperoleh berdasarkan legitimasi religius, legitimasi ideologis eliter atau pun legitimasi pragmatis. Namun kekuasaan berdasarkan legitimasi-legitimasi tersebut dengan sendirinya mengingkari kesamaan dan kesederajatan manusia, karena mengklaim kedudukan lebih tinggi sekelompok manusia dari manusia lainnya. Selain itu, kekuasaan yang berdasarkan ketiga legitimasi diatas akan menjadi kekuasaan yang absolut, karena asumsi dasarnya menempatkan kelompok yang memerintah sebagai pihak yang berwenang secara istimewa dan lebih tahu dalam menjalankan urusan kekuasaan negara. Kekuasaan yang didirikan berdasarkan ketiga legitimasi tersebut bisa dipastikan akan menjadi kekuasaan yang otoriter.
Konsepsi demokrasilah yang memberikan landasan dan mekanisme kekuasaan berdasarkan prinsip persamaan dan kesederajatan manusia. Demokrasi menempatkan manusia sebagai pemilik kedaulatan yang kemudian dikenal dengan prinsip kedaulatan rakyat. Berdasarkan pada teori kontrak sosial, untuk memenuhi hak-hak tiap manusia tidak mungkin dicapai oleh masing-masing orang secara individual, tetapi harus bersama-sama. Maka dibuatlah perjanjian sosial yang berisi tentang apa yang menjadi tujuan bersama, batas-batas hak individual, dan siapa yang bertanggungjawab untuk pencapaian tujuan tersebut dan menjalankan perjanjian yang telah dibuat dengan batas-batasnya. Perjanjian tersebut diwujudkan dalam bentuk konstitusi sebagai hukum tertinggi di suatu negara (the supreme law of the land), yang kemudian dielaborasi secara konsisten dalam hukum dan kebijakan negara. Proses demokrasi juga terwujud melalui prosedur pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat dan pejabat publik lainnya.
Konsepsi HAM dan demokrasi dalam perkembangannya sangat terkait dengan konsepsi negara hukum. Dalam sebuah negara hukum, sesungguhnya yang memerintah adalah hukum, bukan manusia. Hukum dimaknai sebagai kesatuan hirarkis tatanan norma hukum yang berpuncak pada konstitusi. Hal ini berarti bahwa dalam sebuah negara hukum menghendaki adanya supremasi konstitusi. Supremasi konstitusi disamping merupakan konsekuensi dari konsep negara hukum, sekaligus merupakan pelaksanaan demokrasi karena konstitusi adalah wujud perjanjian sosial tertinggi.
Selain itu, prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat dapat menjamin peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang diterapkan dan ditegakkan benar-benar mencerminkan perasaan keadilan masyarakat. Hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh dan atau hanya untuk kepentingan penguasa. Hal ini bertentangan dengan prinsip demokrasi. Hukum tidak dimaksudkan untuk hanya menjamin kepentingan beberapa orang yang berkuasa, melainkan menjamin kepentingan keadilan bagi semua orang. Dengan demikian negara hukum yang dikembangkan bukan absolute rechtsstaat,
by:taufiq shared for pastiada

Selasa, 27 April 2010

KASUS BANK CENTURY

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kondisi Keuangan Global
Kondisi bursa dan pasar keuangan secara global telah mengalami tekanan yang sangat berat, akibat kerugian yang terjadi di pasar perumahan (subprime mortgages) yang berimbas ke sektor keuangan Amerika Serikat. Lembaga-lembaga keuangan raksasa mulai bertumbangan akibat nilai investasi mereka jeblok. Banyak di antara lembaga-lembaga keuangan yang sudah berusia lebih dari seratus tahun tersebut harus meminta penyelamatan keuangan mereka apabila tidak mau gulung tikar. Bahkan Fannie Mae dan Freddie Mac, sebagai lembaga penyalur kredit terbesar di AS dengan nilai kredit mencapai sekitar USD 5 triliun, juga harus diselamatkan oleh pemerintah. Investment Banker sekelas Lehman Brothers juga terpaksa menutup usahanya. Kondisi bursa saham juga sangat memprihatinkan yang ditunjukkan dengan turunnya indeks Dow Jones kepada posisi yang sangat rendah (paling rendah dalam 2 dekade terakhir).
Hal ini berimbas ke negara-negara lain di dunia, baik di Eropa, Asia, Australia maupun Timur Tengah. Indeks harga saham di bursa global juga mengikuti keterpurukan indeks harga saham bursa di AS, bahkan di Asia, termasuk Indonesia, indeks harga saham menukik tajam melebihi penurunan indeks saham di AS sendiri. Hal ini mengakibatkan kepanikan yang luar biasa bagi para investor, sehingga sentimen negatif terus berkembang, yang mengakibatkan banyak harga saham dengan fundamental yang bagus, nilainya ikut tergerus tajam. Selain keadaan yang memprihatinkan di lingkungan bursa saham, nilai tukar mata uang di Asia dan Australia pun ikut melemah terhadap dolar AS. Hal ini lebih dikarenakan kekhawatiran investor asing yang menarik kembali investasinya sehingga menukarkannya ke dalam dolar AS, sehingga mata uang lokal menjadi tertekan.
Bail out untuk mengatasi krisis keuangan yang diusulkan oleh Pemerintah AS serta telah disetujui oleh Parlemen dengan dana sebesar USD 700 miliar, ternyata masih belum cukup meredam dampak krisis yang terjadi baik di AS sendiri maupun secara global. Kebijakan The Fed dengan menurunkan suku bunga dari 2% menjadi 1,5% juga masih belum banyak berdampak. Selain itu masih banyak langkah lain yang ditempuh oleh Pemerintah AS termasuk membuat berbagai regulasi baru untuk mencegah krisis semakin memburuk. Negara-negara lain, baik di kawasan Eropa, Asia Pasifik maupun Timur Tengah, juga menyikapi krisis keuangan global ini dengan mengambil berbagai langkah serius secara simultan.

Dampak terhadap Perekonomian Indonesia
Dalam hal ini, sebenarnya krisis global secara luas berdampak besar bagi beberapa aspek ekonomi penting Indonesia, yakni berimbas signifikan terhadap perbankan, bursa saham, nilai tukar dan inflasi, ekspor-impor, sektor riel dan pengangguran. Namun, dalam tulisan ini lebih ditekankan pada dampak krisis global terhadap kondisi perbankan Indonesia.
Dalam konteks perbankan, pemerintah perlu berhati-hati karena tidak ada yang dapat memperkirakan dalam dan luasnya krisis keuangan global ini. Menyikapi permasalahan ini, pemerintah dan otoritas moneter telah melakukan beberapa langkah yang sangat tepat untuk mengurangi kekhawatiran atau ketidakpercayaan publik terhadap kapabilitas dan likuiditas bank-bank nasional, yaitu antara lain:
• Penaikkan BI rate menjadi 9,5% untuk mengantisipasi depresiasi terhadap nilai rupiah dengan meningkatkan atraktifitas investasi dalam nilai rupiah akibat spread bunga domestik dan luar negeri yang cukup tinggi;
• Peningkatan jumlah simpanan di bank yang dijamin oleh pemerintah dari Rp 100 juta menjadi Rp 2 milyar, untuk mengantisipasi rush akibat kekhawatiran masyarakat terhadap keamanan simpanannya di bank. Hal ini dilakukan dengan pengeluaran Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undan (Perpu);
• Perluasan jenis aset milik bank yang boleh diagunkan kepada BI, yang tadinya hanya meliputi aset kualitas tinggi (SBI dan SUN), namun melalui Perpu, aset yang dapat dijaminkan diperluas dengan kredit lancar milik bank (ditujukan untuk mengantisipasi turunnya harga pasar SUN, yang terlihat dengan naiknya yield). Hal ini ditujukan untuk mempermudah bank dalam mengatasi kesulitan likuiditas, sehingga dapat memperoleh jumlah dana yang cukup dari BI.
Namun, dalam implementasi dan realitasnya, ternyata dampak krisis global tahun 2008 berdampak besar bagi perekonomian dan perbankan Indonesia. Beberapa bank nasional mengalami kesulitan dalam mempertahankan eksistensinya sehinggga perlu penyelamatan dari Bank Sentral, yakni Bank Indonesia. Dan, salah satu bank yang bermasalah pada saat itu adalah Bank Century yang pada nantinya melahirkan sebuah skandal; Skandal Bank Century.

Skandal Bank Century
Century, sebuah bank swasta yang dibentuk dari tiga bank bangkrut yaitu Bank Picco, Bank CIC dan Bank Danpac. Pembentukannya pun menimbulkan berbagai macam kontroversi, terutama di kalangan pengamat ekonomi, dan juga di kalangan pemerintahan kita. Hal ini disebabkan terciumnya indikasi-indikasi aneh dan tidak masuk akal dalam pembentukan Bank Century dengan menggabungkan tiga bank yang bisa dikatakan hampir bangkrut. Logikanya, sangat aneh jika kita membuat kue yang bahan-bahannya itu kita ambil dari bahan-bahan yang sudah basi atau kondisinya sudah buruk, bahkan beracun. Anehnya, tetap saja fakta akan kerusakan bank-bank ini tidak menghalangi pembentukan Bank Century dan walhasil wajar jika Bank Century itu sendiri merupakan bank yang bangkrut.
Pada tanggal 21 Juli 2009, sebesar 6,7 trilyun rupiah disuntikkan kepada Bank Century yang merupakan bank kecil dan tidak punya kekuatan apa-apa untuk bisa mempengaruhi peta perbankan Indonesia. Pemerintah khususnya Sri Mulyani (Menkeu 2004/2009) dan Boediono (Dirut Bank Indonesia) menyetujui pemberian dana sebesar 6,7 trilyun rupiah ini kepada Bank Century dengan alasan yang tegas bahwa apabila Bank Century yang saat itu mengalami kebangkrutan dan kesulitan finansial ditutup, maka akan berdampak sistemik pada perbankan Indonesia. Awalnya, rencananya hanya sebesar 632 miliar rupiah yang akan disuntikkan kepada Bank Century ini dan rencana ini pun diamini dan disetujui oleh DPR dengan catatan bahwa dana yang disetujui adalah 632 miliar rupiah. Namun, nyatanya bukan uang 632 miliar rupiah tadi yang disuntikkan, justru 1000 kali lipatnya, yaitu 6,7 trilyun rupiah. Hal ini menimbulkan pertanyaan banyak pihak, uang yang semulanya sebesar 632 miliar rupiah untuk membantu Bank Century memenuhi persyaratan rasio kecukupan modal sebesar 8 persen ternyata justru membengkak tajam menjadi sebesar 6,7 trilyun yang disuntikkan. Kemana larinya uang yang sebanyak itu?
Koordinator Indonesian Corruption Watch (ICW), Danang Widyoko, memaparkan beberapa data yang menujukkan adanya penggelapan uang nasabah dan uang dari pemerintah oleh beberapa oknum di bank itu. Sepanjang Desember 2008 hingga Juli 2009, kira-kira 5,6 trilyun rupiah dana dari LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) telah dikeruk habis-habisan oleh sejumlah deposan besar. Artinya, yang diuntungkan justru akan adanya dana bail out (talangan) adalah mereka semua itu. Tujuannya tentu saja sesuai dengan hakikat sistem kapitalisme ini, yaitu untuk memperkaya diri.
Sementara itu, terkait dengan alasan jika ditutupnya Bank Century ini akan mempengaruhi kelangsungan sistem perbankan Indonesia, maka hal ini memang benar-benar tidak logis. Alasannya, Bank Century ini hanyalah bank kecil yang tidak punya kekuatan untuk memberi pengaruhnya kepada sistem perbankan. Ibarat Bank Century adalah sebuah silet, sedangkan Bank Indonesia adalah pedang, dan tubuh kita ini adalah sistem perekonomian. Maka, tentunya akan terasa lebih sakit ketika sebuah pedang yang melukai badan kita dibanding sebuah silet. Seperti itu pula lah Bank Century ini. Semenjak awal berdirinya Bank Century, telah terlihat adanya indikasi-indikasi aneh, apalagi setelah diketahui bahwa para miliarder justru lebih memilih menyimpan uangnya di bank kecil seperti Bank Century ini. Terbilang miliarder seperti Budi Sampoerna pun bersedia menyimpan uangnya di bank ini, PT. Timah Tbk dan PT. Jamsostek pun bersedia.
Dalam kasus ini, pemerintah, khususnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hanya menyampaikan alasan yang sama atas apa yang terjadi pada Bank Century. Intinya setali tiga uang dengan Sri Mulyani dan Boediono, yaitu apa yang dilakukan kepada Bank Century untuk memberikan dana talangan itu adalah untuk menyelamatkan perekonomian Indonesia sendiri. Padahal, alasan ini sudah jelas-jelas dibantah oleh para ahli ekonomi. Parahnya lagi, pemerintah seolah-olah berpikir bahwa uang yang dikucurkan dari LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) itu adalah uang mereka sendiri padahal sudah jelas bahwa uang yang ada di LPS itu notabene adalah uang rakyat. Artinya, ketika uang rakyat itu digunakan untuk sesuatu yang tidak jelas, bahkan diselewengkan untuk kepentingan individu atau kelompok tertentu, maka sesungguhnya telah terjadi perampokan terhadap uang milik rakyat dan ini sesuai dengan perkataan mantan wakil presiden, Jusuf Kalla bahwa kasus Bank Century ini bukanlah kasus mengenai krisis, tapi kasus perampokan.

Di Balik Skandal Bank Century
Pada 13 November 2008 Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati –sesuai pengakuannya– mengadakan teleconference dengan Gubernur Bank Indonesia (BI), Boediono, yang memberitahukannya bahwa ada beberapa bank dalam keadaan sulit, salah satunya Bank Century. Ketika itu, Sri Mulyani di Washington sedang menyertai kunjungan kenegaraan Presiden Yudhoyono. Sri Mulyani minta agar Boediono segera mengirimkan data-data terkait Bank Century melalui faksimile untuk dipelajarinya. Setelah itu, ia melaporkan kepada Presiden. “Kalau nanti kondisi makin buruk, apa yang harus dilakukan?” tanya Menkeu kepada Yudhoyono. Presiden –menurut cerita Sri Mulyani– menjawab agar ia melakukan koordinasi dengan Wakil Presiden (Wapres). Yudhoyono, menurut pengakuannya, memerintahkan Menkeu untuk pulang lebih cepat menangani Bank Century.
Sri Mulyani ternyata tidak menjalankan perintah Presiden untuk melapor ke Wapres, Jusuf Kalla. Selaku Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), Sri Mulyani intensif berembuk dan berunding dengan BI, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dan instansi lain yang terkait (Bapepam & LK dan UKP3R). Rapat terakhir, 22 November 2008 menjelang subuh (dalam Notulen rapat 21 November 2008), KSSK mengambil keputusan bail out untuk Bank Century. LPS kemudian diperintahkan untuk melaksanakan keputusan KSSK. Pada 23 November 2008, LPS mengucurkan dana tahap pertama. Semula, LPS maupun KSSK/Menkeu, tutup mulut tentang jumlah dana kucuran tahap pertama itu. Jangan lupa, 22 November 2008 adalah Sabtu, sedangkan 23 November 2008, hari Minggu. Aneh, LPS mengucurkan dana pada hari libur. Artinya, situasi yang dihadapi Bank Century dan kemungkinan dampak yang ditimbulkannya benar-benar gawat alias lampu merah.
Sri Mulyani semula mengaku pada hari KSSK mengambil keputusan bail out, 22 November 2008, ia bersama Boediono menghadap Wapres untuk melapor. Namun, setelah Kalla membantah, Sri Mulyani mengoreksinya, pertemuan di Istana Wapres pada 25 November, bukan 22 November 2008. Pada saat itu, Kalla tidak bisa menyembunyikan amarahnya. Di depan mereka, Kalla menghubungi Kapolri Bambang Hendarso Danuri untuk menangkap Robert Tantular, pemilik Bank Century. Wapres marah karena keputusan bail out tanpa sepengetahuan, apalagi persetujuannya. Ia sama sekali tidak dilibatkan, padahal publik sudah tahu antara Yudhoyono dan Kalla sejak awal terdapat gentleman agreement dalam mengelola pemerintahan, yaitu Kalla lebih banyak mengurus masalah ekonomi dan bisnis, sedang Yudhoyono bidang politik, pertahanan-keamanan, dan hubungan luar negeri. Lagipula, Yudhoyono di Washington sudah memerintahkan Sri Mulyani untuk secepatnya pulang ke tanah air untuk berkoordinasi dengan Wapres.
Kenapa Kalla tidak dilibatkan atau dimintai pendapat sebelum KSSK mengambil keputusan yang menghebohkan itu sesuai perintah Presiden? Jawabannya, karena Sri Mulyani dan Boediono menyadari Kalla pasti akan menolak kebijakan menolong Bank Century yang sudah diketahuinya sekarat sejak awal dan dirampok oleh pemiliknya. Kenapa Sri Mulyani dan Boediono “nyelonong” dengan kebijakan bail out, padahal mereka tahu Wapres tidak bakal menyetujuinya? Inilah salah satu misteri besar yang harus dibongkar KPK.
Dalam dengar pendapat dengan Komisi XI DPR, 16 September 2008, Menkeu mengulangi sikapnya bahwa “Ketika itu kondisi perbankan Indonesia dan dunia mendapat tekanan berat akibat krisis global. Keputusan KSSK saat itu untuk meghindari terjadinya krisis secara berantai pada perbankan yang dampaknya jauh lebih mahal dan lebih dahsyat dari 1998”. Namun, pada 19 September 2008 –hanya dua bulan sebelum keputusan bail out Bank Century diambil-, Sri Mulyani menandaskan Indonesia takkan dilanda krisis ekonomi sebagai dampak dari krisis keuangan di Amerika Serikat. Ia membedakan krisis 2008 dan krisis 1998. Pemerintah, kata Sri Mulyani, sudah antisipatif dengan berbagai langkah untuk meredam dampak krisis keuangan global.
Pada 5 Oktober 2008 –hanya 1,5 bulan sebelum skandal Bank Century meledak– Gubernur Bank Indonesia menyatakan optimismenya dengan kondisi perbankan di dalam negeri. Hal itu terlihat dari beberapa indikator, antara lain tingkat rasio kecukupan modal (CAR) sampai Agustus 2008 sebesar 16 persen, jauh di atas batas minimal 8 persen. Rasio kredit bermasalah hanya 3,95 persen. Lalu, kenapa 21 Nopember 2008 pemerintah sekonyong-konyong mengatakan perbankan nasional dalam keadaan darurat dan krisis moneter 1998 akan terulang kembali jika Bank Century tidak secepatnya ditolong?
Setelah notulen rapat KSSK bocor di Gedung DPR pada pertengahan November 2009, masyarakat baru mengetahui keputusan bail out Century sebenarnya tidak diambil secara bulat. Beberapa pihak terkait sebenarnya tidak setuju atau meminta agar KSSK mengaji kembali secara matang.
Sikap LPS pada awalnya kritis. Mereka mengingatkan peserta rapat bahwa Bank Century bermasalah sejak merger 2004, salah satunya adalah permasalahan surat-surat berharga termasuk valas yang tidak bernilai. Dalam rapat itu, pimpinan LPS mempertanyakan BI, mengapa sejauh ini otoritas bank sentral tidak mengambil tindakan hukum terhadap kejahatan yang dilakukan pemilik Bank Century. Mengenai risiko sistematik, LPS mengemukakan bahwa, “Pada kondisi saat ini, hampir semua bank dapat dikategorikan dapat menimbulkan risiko sistemik. Jadi, LPS memerlukan justifikasi yang lebih terukur karena apabila menggunakan mekanisme penyelamatan LPS, maka akan menggunakan dana bank-bank lain dalam LPS”.
Apa pula pendapat Biro Kebijakan Fiskal (BKF) yang turut hadir dalam rapat itu? “Analisis risiko sistematik yang diberikan BI belum didukung data yang cukup dan terukur untuk menyatakan bahwa Bank Century dapat menimbulkan risiko sistematik, lebih kepada analisis dampak psikologis.” Yang menolak tegas bail out dalam rapat sampai menjelang subuh itu adalah Bapepam & LK. Menurut Bapepam & LK, “Karena ukuran Bank Century tidak besar, secara finansial tidak menimbulkan risiko yang signifikan terhadap bank-bank lain, sehingga risiko sistematik lebih kepada dampak psikologis. Di internal BI, sikapnya juga tidak bulat. Deputi Gubernur Bank Indonesia, Siti Fadjrijah, sejak awal dikabarkan menentang kebijakan bail out. Fadjrijah terkejut ketika dana triliunan rupiah dialirkan ke Bank Century.
Makin hari makin terungkap banyak kebohongan seputar keputusan pemerintah menolong Bank Century dengan dana talangan sebesar 6,7 triliun rupiah. Akhirnya, otoritas BI yang mengatakan bahwa “Keputusan harus diambil segera dan tidak dapat ditunda sampai Jumat sore seperti saran LPS karena Bank Century tidak mempunyai cukup dana untuk prefund kliring dan memenuhi kliring sepanjang hari itu”.
Apa sesungguhnya yang “memaksa” pemimpin BI menolong Bank Century, sebuah bank swasta papan bawah yang sejak kelahirannya sudah dililit oleh berbagai masalah serius, termasuk masalah yang mengarah ke tindak kriminal?

Hak Angket DPR
Permasalahan ini akhirnya memunculkan sebuah masalah nasional serius, sebuah skandal baru yang dikenal dengan “Skandal Bank Century”. Kasus Century ini telah membuat berbagai macam respon dari fraksi-fraksi partai yang ada di DPR. Respon itu berupa pengusungan hak angket DPR yang dimotori oleh FPDIP (Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan). Pengusungan hak angket ini pun disambut baik oleh beberapa fraksi partai yang ada di DPR, seperti Fraksi Partai Golkar, Fraksi PKS, Fraksi PAN, Fraksi PKB, Fraksi Partai Gerindra, Fraksi Partai Hanura, dan lain-lain terkecuali Fraksi Partai Demokrat yang merupakan partainya presiden yang pada saat itu menolak pengusungan hak angket DPR ini dengan alasan menunggu hasil audit dari BPK. Ketidakikutsertaan FPD ini membuat partai-partai koalisi FPD menjadi ragu-ragu dalam mengusung hak angket ini. Mereka mungkin takut akan kekuatan politik yang mereka dapat dari koalisi dengan FPD menghilang ketika mereka tidak menyuarakan suara yang sama seperti FPD. Namun, setelah membaca hasil audit dari BPK dan memang di sana terdapat banyak penyimpangan, maka FPD pun menyatakan kesediaannya untuk menandatangani dan menyetujui adanya hak angket ini, apalagi setelah Presiden SBY menyambut baik adanya usungan hak angket untuk membongkar skandal Bank Century ini. F Hanura yang sejak awal dengan tegas menyatakan keseriusannya dalam mengusung hak angket juga semakin bersemangat setelah mendapatkan dukungan dari petisi 28 yang merupakan gabungan dari sejumlah LSM dan akademisi.
Akhirnya, proses penggunaan hak angket pun dijalankan setelah terpilihnya ketua Pansus Hak Angket ini, yaitu M. Idrus Marham dari F Golkar yang memperoleh 19 suara dari 30 suara dari anggota pansus yang ada di DPR. Sedangkan calon-calon lain yang diusung oleh partai lainnya seperti Prof. Dr. T. Gayus Lumbuun dari Fraksi PDIP memperoleh 7 suara, Drs. Mahfud Siddiq, M.Si dari Fraksi PKS memperoleh 3 suara, dan terutama Mayjen TNI (Purn) Yahya Sacawirya, SP dari Fraksi Partai Demokrat hanya memperoleh 1 suara. Dengan memperoleh 19 suara, maka M. Idrus Marham sah menjadi ketua dari Pansus ini, sedangkan tiga calon lainnya akan menjadi wakil ketua yang akan mendampingi ketua untuk melaksanakan tugasnya. Pada intinya, mereka semua ini berjanji akan mengusut kasus Bank Century ini dengan tuntas, bahkan mereka mengatakan bahwa mereka berani untuk mengusut kasus ini sampai kepada RI-1 dan RI-2 apabila memang diperlukan. Selanjutnya, pansus ini populer dikenal dengan nama “Pansus Century”.
Berdasarkan atas uraian panjang dalam bagian latar belakang di atas, penulis mencoba memaparkan lebih jauh mengenai perkembangan yang dilakukan oleh Pansus Century dalam penanganan skandal Bank Century. Penting dalam pemikiran penulis guna menyampaikan beberapa pokok permasalahan terkait dengan latar belakang di atas. Dalam bagian pembahasan nantinya, akan penulis uraikan pula secara singkat namun jelas mengenai kronologis skandal Bank Century dan tinjauan mengenai Pansus Century serta apa saja yang menjadi landasan kerja Pansus Century dalam menunaikan tugasnya. Bagian pembahasan penulis tutup dengan pemaparan hasil kerja Pansus Century selama kurang lebih dua bulan masa kerja. Penulis membatasi penulisan hanya sampai pada hasil kerja Pansus Century, sesuai dengan topik yang menjadi bahan kajian penulis dalam makalah ini, namun penulis sertakan pula secara singkat hasil Sidang Paripurna DPR guna menindaklanjuti hasil laporan akhir Pansus Century. Semuanya itu penulis coba kaji melalui sebuah kajian pustaka yang mayoritas dipenuhi oleh berbagai aplikasi berita dalam dunia maya internet, juga kajian pustaka buku yang terkait dengan topik yang dibahas. Penulis dalam penulisan makalah ini lebih banyak menggunakan literatur dari internet berupa artikel-artikel terkait topik yang ditulis oleh beberapa pengamat politik, ekonomi, dan perbankan, berita-berita yang dipostkan di internet serta beberapa berita stasiun televisi swasta yang disertakan dalam dunia maya. Penulis hanya menggunakan satu bahan literatur berupa buku sebab sejauh yang penulis ketahui, baru terdapat dua buku yang mengkaji mengenai skandal Bank Century sehingga menjadi alasan bagi penulis lebih banyak mengambil literatur dari internet. Namun, literatur-literatur dalam makalah ini benar adanya dan dapat dipertanggungjawabkan. Kerja penulis tersaji dalam sebuah tulisan makalah yang berjudul “Kasus Bail Out Century dan Pemilu 2009 (Analisis Kepustakaan: Kerja Pansus Skandal Bank Century, Korelasi Aliran Dana Bank Century kepada Capres SBY-Boediono)”.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan di atas, maka dapat penulis rumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut.
1) Bagaimana kronologis skandal Bank Century?
2) Bagaimana tinjauan mengenai Pansus terkait skandal Bank Century?
3) Bagaimana hasil kerja Pansus terkait skandal Bank Century?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.
1) Untuk memperoleh informasi terkait kronologis skandal Bank Century.
2) Untuk memperoleh informasi terkait tinjauan mengenai Pansus sehubungan skandal Bank Century.
3) Untuk memperoleh informasi terkait hasil kerja Pansus sehubungan skandal Bank Century.

1.4 Manfaat
Dengan penulisan makalah ini, diharapakan dapat memberikan beberapa manfaat yang berguna bagi pihak-pihak terkait. Pertama, dengan adanya tulisan ini diharapkan dapat memberikan informasi yang jelas dan bertanggung jawab terkait dengan topik yang diangkat –hasil kerja Pansus terkait skandal Bank Century- kepada khalayak agar dapat menjadi suatu referensi dalam mengkaji permasalahan ini, terutama sekali kepada rekan-rekan mahasiswa. Ke dua, dengan adanya tulisan ini diharapkan dapat menjadi kajian tersendiri yang dapat menambah khasanah ilmu sejarah, khususnya dalam kajian mata kuliah Sejarah Kontemporer di Jurusan Pendidikan Sejarah secara khusus dan di tingkat akademisi lainnya secara umum. Ke tiga, dengan adanya tulisan ini semoga dapat dijadikan sebuah refleksi ke depan bagi kita semua dalam menyikapi permasalahan bangsa secara lebih kritis dan bijaksana sehingga dapat menemukan jalan keluar dan antisipasi ke depan dengan lebih baik lagi. Ke empat, dengan adanya tulisan ini semoga memberikan suatu modal dan pengalaman berharga bagi penulis dalam melakukan sebuah kajian kepustakaan terkait dengan isu-isu terkini yang amat penting bagi perkembangan sejarah bangsa dan dapat pula menjadi suatu ajang pembelajaran dalam menyelesaikan suatu tulisan ilmiah yang baik.


















BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Kronologis Skandal Bank Century

Analisis Permasalahan Bail Out Bank Century
Pemberian bail out atau dana penyertaan oleh pemerintah kepada Bank Century yang membengkak hingga Rp 6,7 triliun dari semula hanya Rp 1,3 triliun, bahkan semula hanya 632 milyar rupiah terus menjadi bahan pembicaraan dan perdebatan seru. Bukan hanya di media massa, di kalangan para ahli, dan birokrasi pemerintahan, tapi juga di parlemen. Anggota Komisi Keuangan dan Perbankan (Komisi XI) DPR RI terus mempersoalkannya. Natsir Mansyur mensinyalir tindakan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang juga Ketua Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK) memberikan dana penyertaan ke Bank Century merupakan tindak pidana yang meliputi dua aspek, yaitu aspek politik serta aspek hukum. Namun menurut Menkeu, keputusan menyelamatkan Bank Century pada 21 November 2008 itu tidak bisa dinilai berdasarkan kondisi saat ini. Sebab ketika itu kondisi perbankan Indonesia dan dunia mendapat tekanan berat akibat krisis global. Keputusan KSSK saat itu untuk menghindari terjadinya krisis secara berantai pada perbankan yang dampaknya jauh lebih mahal dan lebih dahsyat dari 1998.
Menkeu menyebutkan hingga Juli 2009, bank hasil penggabungan PT Bank CIC Internasional, Bank Danpac, dan Bank Pikko itu sudah untung sebesar Rp 139,9 miliar. Bahkan, menurut Bank Indonesia, jika dilihat posisinya sejak Desember 2008 sampai Agustus 2009, ada kenaikan simpanan nasabah sebesar Rp 1,1 triliun. Namun, pemberian dana peryertaan Century yang sekarang terus dipersoalkan membuat Menkeu cemas lantaran bisa berakibat buruk terhadap bank itu. Selain besarnya dana penyertaan, hal lain yang dipersoalkan kenapa Bank Century tak ditutup kabarnya ada nasabah besar yang dilindungi. Kabarnya, nasabah besar itu memiliki dana sekitar Rp 1 triliun hingga Rp 2 triliun. Harry Azhar, anggota Komisi XI DPR, menyebut nasabah besar itu antara lain Budi Sampoerna. Paman Putera Sampoerna, mantan pemilik PT H.M. Sampoerna itu disinyalir punya dana sebesar Rp 1,8 triliun di Century . Munculnya Budi Sampoerna turut menyeret Komisaris Jenderal Susno Duadji. Isu tidak sedap merebak di kalanggan anggota dewan. Kepala Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polri itu disebut-sebut dalam proses pencairan dana Budi Sampoerna. Keterlibatan Susno, seperti ditulis Majalah Tempo, terlihat dari dikeluarkannya surat Badan Reserse Kriminal pada 7 serta 17 April 2009. Surat itu, menyatakan dana milik Budi Sampoerna dan 18 juta dolar AS milik PT Lancar Sampoerna Bestari di Bank Century "sudah tak ada masalah lagi". Selain itu, Susno turut memfasilitasi beberapa pertemuan direksi Century dengan pihak Budi di kantor Bareskrim. Pertemuan itu menghasilkan dua kesepakatan. Salah satunya soal persetujuan pencarian dana senilai 58 juta dolar AS-dari total Rp 2 triliun-milik Budi atas nama PT Lancar Sampoerna Bestari. Kesepakatan lainnya, pencairan dilakukan dalam rupiah. Atas upaya tersebut, Susno dikabarkan dijanjikan oleh Lucas, kuasa hukum Budi, komisi 10 persen dari jumlah uang Budi yang akan cair. Soal komisi 10 persen itu, dibantah Susno.
Untuk lebih mudah menganalisis kasus Bank Century ini, penulis akan memecah runtut kasus ini menjadi beberapa tahapan yaitu :
1999
Robert Tantular mendirikan Bank Century Intervest Corporation (Bank CIC). Namun, sesaat setelah Bank CIC melakukan penawaran umum terbatas alias rights issue pertama pada Maret 1999, Robert Tantular dinyatakan tidak lolos uji kelayakan dan kepatutan oleh Bank Indonesia.
2003
Bank CIC diketahui didera masalah yang diindikasikan dengan adanya surat-surat berharga valutas asing sekitar Rp 2 triliun, yang tidak memiliki peringkat, berjangka panjang, berbunga rendah, dan sulit dijual. BI menyarankan merger untuk mengatasi ketidakberesan bank ini.
2004
Bank CIC merger bersama Bank Danpac dan bank Pikko yang kemudian berganti nama menjadi Bank Century. Mantan Deputi Senior Bank Indonesia, Anwar Nasution disebut-sebut ikut andil berdirinya bank tersebut. Tanggal 6 Desember 2004, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia mengesahkan Bank Century. Surat-surat berharga valas terus bercokol di neraca bank hasil merger ini. BI menginstruksikan untuk dijual, tetapi tidak dilakukan pemegang saham. Pemegang saham membuat perjanjian untuk menjadi surat-surat berharga ini dengan deposito di Bank Dresdner, Swiss, yang belakangan ternyata sulit ditagih.
2005
BI mendeteksi surat-surat berharga valas di Bank Century sebesar US$ 210 juta. Budi Sampoerna menjadi salah satu nasabah terbesar Bank Century cabang Kertajaya, Surabaya.
2008
Beberapa nasabah besar Bank Century menarik dana yang disimpan di bank besutan Robert Tantular itu, sehingga Bank Century mengalami kesulitan likuiditas. Di antara nasabah besar itu adalah Budi Sampoerna, PT Timah Tbk, dan PT Jamsostek.
1 Oktober 2008
Budi Sampoerna tak dapat menarik uangnya yang mencapai Rp 2 triliun di Bank Century. Sepekan kemudian, bos Bank Century Robert Tantular membujuk Budi dan anaknya yang bernama Sunaryo, agar menjadi pemegang saham dengan alasan Bank Century mengalami likuiditas.
30 Oktober dan 3 November 2008
Sebanyak US$ 56 juta surat-surat berharga valas jatuh tempo dan gagal bayar. Bank Century kesulitan likuiditas. Posisi CAR Bank Century per 31 Oktober minus 3,53%.
13 November 2008
Bank Century gagal kliring karena gagal menyediakan dana (prefund).
14 November 2008
Bank Century mengajukan permohonan fasilitas pendanaan darurat dengan alasan sulit mendapat pendanaan. Budi Sampoerna setuju memindahkan seluruh dana dari rekening di Bank Century cabang Kertajaya, Surabaya ke Cabang Senayan, Jakarta. 17 November 2008, Antaboga Delta Sekuritas yang dimiliki Robert Tantutar mulai default membayar kewajiban atas produk discreationary fund yang di jual Bank Century sejak akhir 2007.
20 November 2008
Bank Indonesia menyampaikan surat kepada Menkeu tentang Penetapan Status Bank Gagal pada Bank Century dan menyatakan perlunya penanganan lebih lanjut. Selaku Ketua Komite Stabilitas Sektor Keuangan, Sri Mulyani langsung menggelar rapat untuk membahas nasib Bank Century. Dalam rapat tersebut, Bank Indonesia melalui data per 31 Oktober 2008 mengumumkan bahwa rasio kecukupan modal atau CAR Bank Century minus hingga 3,52 persen. Diputuskan, guna menambah kebutuhan modal untuk menaikkan CAR menjadi 8 persen adalah sebesar Rp 632 miliar. Rapat tersebut juga membahas apakah akan timbul dampak sistemik jika Bank Century dilikuidasi dan menyerahkan Bank Century kepada lembaga penjamin. BI Mengirim surat kepada Menteri Keuangan yang menentapkan Bank Century sebagai bank gagal yang berdampak sistemik dan mengusulkan langkah penyelamatan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Di hari yang sama, Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) yang beranggotakan BI, Menteri Keuangan, dan LPS, melakukan rapat.
21 November 2008
• Bank Century diambil alih LPS berdasarkan keputusan KKSK dengan surat Nomor 04.KKSK.03/2008. Robert Tantular, salah satu pemegang saham Bank Century, bersama tujuh pengurus lainnya dicekal. Pemilik lain, Rafat Ali Rizvi dan Hesham Al-Warraq menghilang.
• Mantan Group Head Jakarta Network PT Bank Mandiri, Maryono diangkat menjadi Direktur Utama Bank Century menggantikan Hermanus Hasan Muslim. 23 November 2008, LPS memutuskan memberikan dana talangan senilai Rp2,78 triliun untuk mendongkrak CAR menjadi 10%.
22 November 2008
Delapan pejabat Bank Century dicekal. Mereka adalah Sualiaman A.B. (Komisaris Utama), Poerwanto Kamajadi (Komisaris), Rusli Prakarta (komisaris), Hermanus Hasan Muslim (Direktur Utama), Lila K. Gondokusumo (Direktur Pemasaran), Edward M. Situmorang (Direktur Kepatuhan) dan Robert Tantular (Pemegang Saham).
23 November 2008
Lembaga penjamin langsung mengucurkan dana Rp 2,776 triliun kepada Bank Century. Bank Indonesia menilai CAR sebesar 8 persen dibutuhkan dana sebesar Rp 2,655 triliun. Dalam peraturan lembaga penjamin, dikatakan bahwa lembaga dapat menambah modal sehingga CAR bisa mencapai 10 persen, yaitu Rp 2,776 triliun.
26 November 2008
Robert Tantular ditangkap di kantornya di Gedung Sentral Senayan II lantai 21 dan langsung ditahan di Rumah Tahanan Markas Besar Polri. Robert diduga mempengaruhi kebijakan direksi sehingga mengakibatkan Bank Century gagal kliring. Pada saat yang sama, Maryono mengadakan pertemuan dengan ratusan nasabah Bank Century untuk meyakinkan bahwa simpanan mereka masih aman.
5 Desember 2008
LPS menyuntikkan dana Rp2,2 triliun agar Bank Century memenuhi tingkat kesehatan bank.
9 Desember 2008
Bank Century mulai menghadapi tuntutan ribuan investor Antaboga atas penggelapan dana investasi senilai Rp 1,38 triliun yang mengalir ke Robert Tantular.
31 Desember 2008
Bank Century mencatat kerugian Rp 7,8 triliun pada 2008. Asetnya tergerus menjadi Rp 5,58 triliun dari Rp 14,26 triliun pada 2007.
3 Februari 2009
Lembaga penjamin mengucurkan lagi Rp 1,55 triliun untuk menutupi kebutuhan CAR berdasarkan hasil assesment Bank Indonesia, atas perhitungan direksi Bank Century.
1 April 2009
Penyidik KPK hendak menyergap seorang petinggi kepolisian yang diduga menerima suap. Namun, penyergarapan itu urung lantaran suap batal dilakukan. Dikabarkan rencana penangkapan itu sudah sampai ke telinga Kepala Polri, Jenderal Bambang Hendarso Danuri. Sejak itulah hubungan KPK-Polri kurang mesra. 11 Mei 2009 Bank Century keluar dari pengawasan khusus BI.


Pertengahan April 2009
Kabareskrim Polri, Komjen Susno Duadji mengeluarkan surat klarifikasi kepada direksi Bank Century. Isi surat tersebut adalah menegaskan uang US$ 18 juta milik Budi Sampoerna dari PT Lancar Sampoerna Besatari tidak bermasalah. 3 Juli 2009, parlemen mulai menggugat karena biaya penyelamatan Bank Century terlalu besar.
Pertengahan April 2009
Kabareskrim Polri, Komjen Susno Duadji mengeluarkan surat klarifikasi kepada direksi Bank Century. Isi surat tersebut adalah menegaskan uang US$ 18 juta milik Budi Sampoerna dari PT Lancar Sampoerna Besatari tidak bermasalah.
Juni 2009
Bank Century mengaku mulai mencairkan dana Budi Sampoerna yang diselewengkan Robert Tantular sekitar US$ 18 juta, atau sepadan dengan Rp 180 miliar. Namun, hal ini dibantah pengacara Budi Sampoerna, Lucas, yang menyatakan bahwa Bank Century belum membayar sepeserpun pada kliennya.
Juni 2009
KPK melayangkan surat permohonan kapada Badan Pemeriksa Keuangan untuk melakukan audit terhadap Bank Century.
Akhir Juni 2009
Komisaris Jendral Susno Duadji mengatakan ada lembaga yang telah sewenang-wenang menyadap telepon selulernya.
2 Juli 2009
KPK menggelar konferensi pers. Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Bibit Samad Riyanto mengatakan jika ada yang tidak jelas soal penyadapan, diminta datang ke KPK.
21 Juli 2009
LPS menyuntikkan dana Rp 630 miliar. Keputusan tersebut juga berdasarkan hasil assesment Bank Indonesia atas hasil auditro kantor akuntan publik. Sehingga total dana yang dikucurkan mencapai Rp 6,762 triliun.

12 Agustus 2009
Mantan Direktur Utama Bank Century, Hermanus Hasan Muslim divonis 3 tahun penjara karena terbukti menggelapkan dana nasabah Rp 1,6 triliun. Dan tanggal 18 Agustus 2009, Komisaris Utama yang juga pemegang saham, Robert Tantular dituntut hukuman delapan tahun penjara dengan denda Rp 50 miliar subsider lima tahun penjara.
18 Agustus 2009
Robert Tantular dituntut delapan tahun penjara dan denda Rp 50 miliar subsider lima bulan kurungan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Sebelumnya pada 15 Agustus, manajemen Bank Century menggugatnya sebesar Rp2,2 triliun.
27 Agustus 2009
Dewan Perwakilan Rakyat memanggil Menkeu Sri Mulyani, Bank Indonesia, dan lembaga penjamin untuk menjelaskan membengkaknya suntikan modal hingga Rp 6,7 triliun. Padahal menurut DPR, awalnya pemerintah hanya meminta persetujuan Rp 1,3 triliun untuk Bank Century. Dalam rapat tersebut Sri Mulyani kembali menegaskan bahwa jika Bank Century ditutup akan berdampak sistemik pada perbankan Indonesia. Pada hari yang sama pula, Wakil Ketua KPK, Bibit Samad Riyanto menyatakan bahwa kasus Bank Century itu sudah ditingkatkan statusnya menjadi penyelidikan.
28 Agustus 2009
Wakil Presiden Jusuf Kalla membantah pernyataan Sri Mulyani yang menyatakan bahwa dirinya telah diberitahu tentang langkah penyelamatan Bank Century pada tanggal 22 Agustus 2008. Sehari setelah keputusan KKSK. Justru Kalla mengaku dirinya baru tahu tentang itu pada tanggal 25 Agustus 2008.
3 September 2009
Kepala Kepolisian Republik Indonesia menyampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat agar terus mengejar aset Robert Tantular sebesar US$ 19,25 juta, serta Hesham Al-Warraq dan Rafat Ali Rizvi sebesar US$ 1,64 miliar.
10 September 2009
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang dipimpin Sugeng Riyono, memutus Robert Tantular dengan vonis hukuman 4 tahun dengan denda Rp 50 miliar karena dianggap telah memengaruhi pejabat bank untuk tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan sesuai dengan UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
30 September 2009
Laporan awal audit Badan Pemeriksa Keuangan terhadap Bank Century sebanyak 8 halaman beredar luas di masyarakat. Laporan tersebut mengungkapkan banyak kelemahan dan kejanggalan serius di balik penyelamatan Bank Century dan ada dugaan pelanggaran kebijakan dalam memberikan bantuan ke Bank Century.
2 Oktober 2009
Nama Bank Century diganti menjadi Bank Mutiara.
21 Oktober 2009
Akibat kejanggalan temuan BPK tersebut, Sekjen PDI Perjuangan Pramono Anung membentuk tim kecil untuk menggulirkan hak angket guna mengkaji kasus Bank Century. Lima hari kemudian, wacana pembentukan Panitia Khusus Hak Angket DPR untuk mengusut kasus Bank Century menjadi perdebatan di DPR.
12 November 2009
139 anggota DPR dari 8 Fraksi mengusulkan hak angket atas pengusutan kasus Bank Century.
3 Desember 2009
Sejumlah aktivis dari berbagai elemen masyarakat, menyatakan sikap, berharap Tim Sembilan, tim yang mengusung hak angket Bank Century, untuk turut dalam panitia khusus hak angket Bank Century. Mereka mendukung dan memercayai anggota Tim Sembilan untuk memimpin dan menjadi anggota panitia angket tersebut. Turut hadir dalam pertemuan tersebut aktivis dari Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi (KOMPAK), Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND), Forum Kepemimpinan Muda Indonesia (FKIP), dan beberapa elemen lainnya.
4 Desember 2009
Penetapan Panitia Khusus Angket Century DPR RI.
Demikianlah kronologis yang dapat penulis paparkan terkait dengan skandal Bank Century yang dimulai dari awal pendirian Bank Century hingga dibentuknya Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket Bank Century.

Analisis Aliran Dana kepada Capres SBY-Boediono
Dari berbagai pemberitaan di media massa dan internet, nama dua orang nasabah terbesar Bank Century telah muncul ke permukaan, yakni Hartati Mudaya, pemimpin kelompok CCM (Central Cipta Mudaya) dan Boedi Sampoerna, salah seorang penerus keluarga Sampoerna, yang menyimpan trilyunan rupiah di bank itu sejak 1998. Sebelum Bank Century diambil alih oleh LPS, Boedi Sampoerna, seorang cucu pendiri pabrik rokok PT HM Sampoerna, Liem Seng Thee, masih memiliki simpanan sebesar Rp 1,895 milyar di bulan November 2008, sedangkan simpanan Hartati Murdaya sekitar Rp 321 milyar. Keduanya sama‐sama penyumbang logistik SBY dalam Pemilu lalu. Beberapa depositan kelas kakap lainnya adalah PTPN Jambi, Jamsostek, dan PT Sinar Mas. Boedi Sampoerna sendiri, masih sempat menyelamatkan sebagian depositonya senilai US$ 18 juta, berkat bantuan surat‐surat rekomendasi Kepala Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri waktu itu, Komjen (Pol) Susno Duadji, tanggal 7 dan 17 April 2009 (Rusly 2009: 48; Haque 2009; Inilah.com, 25 Febr. 2009; Antara News, 10 Ag. 2009; Vivanews.com, 14 Sept. 2009; Forum Keadilan, 29 Nov. 2009: 14). Boedi Sampoerna ditengarai menjadi “salah seorang penyokong SBY, termasuk dengan menerbitkan sebuah koran” (Rusly 2009: 48). Ada juga yang mengatakan” Sampoerna sejak beberapa tahun lalu mendanai penerbitan salah satu koran nasional (Jurnas/Jurnal Nasional) yang menjadi corong politik Partai SBY” (Haque 2009). Sementara itu, kesan bahwa perusahaan media ini terkait erat dengan Partai Demokrat tidak dapat dihindarkan, dengan duduknya Ramadhan Pohan, Ketua Bidang Pusat Informasi BAPPILU Partai Demokrat sebagai Pemimpin Redaksi harian Jurnal Nasional dan majalah Arti, serta Wakil Ketua Dewan Redaksi di majalah Eksplo. Sebelum menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Jurnas, Ramadhan Pohon merangkap sebagai Direktur Opini Publik & Studi Partai Politik Blora Center, think tank Partai Demokrat yang mengantar SBY ke kursi presidennya yang pertama. Barangkali ini sebabnya, kalangan pengamat politik di Jakarta mencurigai bahwa dana kelompok Sampoerna juga mengalir ke Blora Center. Soalnya, sebelum Jurnas terbit, Blora Center menerbitkan tabloid dwi-mingguan Kabinet, yang menyoroti kinerja anggota-anggota Kabinet Indonesia Bersatu. Sementara itu, Ramadhan Pohan baru saja terpilih menjadi anggota DPR-RI dari Fraksi Demokrat, mewakili Dapil VII Jawa Timur (Jurnalnet.com 25 Febr. 2005; Fajar, 21 Juni 2005; ramadhanpohan.com, 14 Okt 2009).
Kembali ke kelompok Jurnas dan hubungannya dengan Grup Sampoerna, di tahun 2008, Ting Ananta Setiawan mengundurkan diri dari jabatan Pemimpin Perusahaan, yang kini dirangkap oleh Pemimpin Umum, N. Syamsuddin Haesy. Namun, nama Ananta Setiawan tetap tercantum sebagai Pemimpin Perusahaan, sebagai konsekuensi dari SIUP PT Media Nusa Perdana. Mundurnya Ananta Setiawan secara de facto terjadi seiring dengan mengecilnya saham Sampoerna dalam perusahaan media itu, dan meningkatnya peranan Gatot Murdiantoro Suwondo sebagai pengawas keuangan perusahaan itu. Istri Dirut BNI ini, dikabarkan masih kerabat Ny. Ani Yudhoyono (McBeth 2007). Berapa besar dana yang telah disuntikkan Grup Sampoerna ke kelompok Jurnas? Menurut SIUP PT Media Nusa Perdana yang diterbitkan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi DKI Jakarta, 5 Maret 2007, nilai modal dan kekayaan bersih perusahaan itu sebesar Rp 3 milyar. Namun jumlah itu, hanya cukup untuk sebulan menerbitkan harian Jurnal Nasional, yang biaya cetak, gaji, dan biaya‐biaya lainnya kurang lebih Rp 2 milyar sebulan. Berarti biaya penerbitan tahun pertama (2006), sekitar Rp 24 milyar. Tahun kedua (2007), turun menjadi sekitar Rp 20 milyar, setelah koran dan majalah‐majalah terbitan PT Media Nusa Perdana mulai menarik langganan dan iklan. Tahun ketiga (2008), sekitar Rp 18 milyar, dan tahun keempat (2009) sekitar Rp 15 milyar. Berarti kelompok media cetak ini telah menyedot modal sekitar Rp 90 milyar, mengingat Jurnal Bogor menyewa kantor sendiri di Bogor, dan punya rencana untuk berdiri sendiri, dengan perusahaan penerbitan sendiri. Selain biaya cetak yang tinggi untuk seluruh Grup Jurnas, pos gaji wartawan kelompok media ini tergolong cukup tinggi. Gaji pertama wartawan Jurnas tahun 2006 mencapai Rp 2,5 juta sebulan, tiga kali lipat gaji wartawan baru Jawa Pos Group. Kecurigaan masyarakat bahwa keluarga Sampoerna tidak hanya menanam modal di kelompok media Jurnal Nasional, tapi juga di simpul-simpul kampanye Partai Demokrat yang lain, yang juga disalurkan lewat Bank Century, bukan tidak berdasar. Soalnya, Laporan Keuangan PT Bank Century Tbk Untuk Tahun yang Berakhir pada Tanggal-tanggal 30 Juni 2009 dan 2008 menunjukkan bahwa ada penarikan simpanan pihak ke tiga sebesar Rp 5,7 trilyun. Selain itu, Ringkasan Eksekutif Laporan Hasil Investigasi BPK atas Kasus PT Bank Century Tbk tertanggal 20 November 2009 menunjukkan bahwa Bank Century telah mengalami kerugian karena mengganti deposito milik Boedi Sampoerna yang dipinjamkan atau digelapkan oleh Robert Tantular dan Dewi Tantular sebesar US$ 18 juta atau sekitar Rp 150 milyar, dengan dana yang berasal dari Penempatan Modal Sementara LPS.

Analisis Pelanggaran Hukum
Secara otentifikasi dan legalitas Pemilihan Presiden RI 2009, telah jelas analisis di atas mensuratkan pelanggaran Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Pasal 103 yaitu:
Pasal 103
(1) Pasangan Calon dilarang menerima sumbangan pihak lain yang berasal dari:
a. pihak asing;
b. penyumbang yang tidak benar atau tidak jelas identitasnya;
c. hasil tindak pidana dan bertujuan menyembunyikan atau menyamarkan hasil tindak pidana;
d. Pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah; atau
e. pemerintah desa atau sebutan lain dan badan usaha milik desa.
(2) Pelaksana Kampanye yang menerima sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dibenarkan menggunakan dana tersebut dan wajib melaporkannya kepada KPU dan menyerahkan sumbangan tersebut ke kas Negara paling lambat 14 (empat belas) hari setelah masa Kampanye berakhir.
(2) dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
(3) Pelaksana Kampanye yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) Setiap orang yang menggunakan anggaran Pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha milik negara (BUMN), badan usaha milik daerah (BUMD), pemerintah desa atau sebutan lain dan badan usaha milik desa untuk disumbangkan atau diberikan kepada pelaksana Kampanye dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
Namun, setelah dilakukan investigasi oleh Pansus Century sebagaimana akan dipaparkan ke depan dalam makalah ini, dalam laporan hasil akhir kerja Pansus Angket Bank Century, disimpulkan bahwa tidak ditemukan adanya aliran dana talangan Bank Century yang bermasalah itu kepada pasangan Capres SBY-Boediono pada Pemilu 2009 sebagaimana yang ditudukan banyak pihak sebelumnya.

2.2 Tinjauan tentang Pansus terkait Skandal Bank Century

Pansus, Apa Itu?
Pansus (Panitia Khusus) dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat sementara. DPR menetapkan susunan dan keanggotaan panitia khusus berdasarkan perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi. Jumlah anggota panitia khusus ditetapkan oleh rapat paripurna paling banyak 30 (tiga puluh) orang. Pimpinan panitia khusus merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial. Pimpinan panitia khusus terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota panitia khusus berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan memperhatikan jumlah panitia khusus yang ada serta keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi. Fraksi yang mendapatkan komposisi pimpinan panitia khusus mengajukan satu nama calon pimpinan panitia khusus kepada pimpinan DPR untuk dipilih dalam rapat panitia khusus. Pemilihan pimpinan panitia khusus dilakukan dalam rapat panitia khusus yang dipimpin oleh pimpinan DPR setelah penetapan susunan dan keanggotaan panitia khusus. Panitia khusus bertugas melaksanakan tugas tertentu dalam jangka waktu tertentu yang ditetapkan oleh rapat paripurna dan dapat diperpanjang oleh Badan Musyawarah apabila panitia khusus belum dapat menyelesaikan tugasnya. Panitia khusus dibubarkan oleh DPR setelah jangka waktu penugasannya berakhir atau karena tugasnya dinyatakan selesai.
Pansus dibentuk berdasarkan UU No 6 Tahun 1954 tentang Hak Angket DPR. Sejatinya UU ini berasal dari rahim ketentuan UUDS 1950 yang secara prinsip menganut demokrasi parlementer. Namun, yang jangan dilupakan bahwa ternyata hak angket juga dikenal sebagai bagian fungsi dan hak DPR yang pada pokoknya, yaitu fungsi legislasi, fungsi anggaran, fungsi pengawasan (ketiga fungsi ini berasal dari Pasal 20 A ayat (1) UUD 1945), hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat (hak ini berasal dari Pasal 20 A ayat (2) UUD 1945). Selain itu, ketentuan UU 6/1954 ini juga dikukuhkan dengan Pasal 20 A ayat (4) jo Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945. Jadi,UU 6/1954 tetap sah berlaku sepanjang belum ada yang diadakan pembaharuan menyangkut pengaturan Hak Angket DPR dan Hak Angket adalah bagian dari hak DPR meski sistem pemerintahan kita pada dasarnya adalah sistem Presidensial.
Pansus bukan sembarang perangkat DPR. Dengan otoritas yang dimiliki DPR, Pansus punya kemampuan mengumpulkan data dan keterangan seluas mungkin dan dari semua perspektif yang relevan. Pansus tak diperlukan jika permasalahan yang ditangani bukan masalah politik tinggi. Maka, tidak mengherankan jika muatan politik dalam proses ini juga tinggi, dan karena itu telah menciptakan suasana hiruk pikuk. Namun, dalam hiruk pikuk ini selalu harus dijaga kejelasan mengenai apa yang sebenarnya dicari Pansus. Ini mutlak guna menjaga kredibilitas Pansus dan DPR.
Terkait dengan skandal Bank Century yang memaksa DPR membentuk Pansus Hak Angket Bank Century, ada kesan bahwa dalam prosesnya, permasalahan yang ditangani menjadi kabur dan menjurus ke mana-mana, seakan terbawa arus. Kini, tiba saatnya untuk membedakan dan memilah antara ”permasalahan” politik dan ”permainan” politik. Penulis beranggapan bahwasanya walaupun mungkin tidak pernah dinyatakan secara eksplisit, Pansus Bank Century sebenarnya digelar untuk menjawab suatu kecurigaan bahwa penyelamatan bank itu melalui pemberian dana talangan (bail out) dimaksudkan untuk menyelamatkan dana-dana pihak tertentu dan memobilisasi dana bagi pembiayaan kampanye politik Partai Demokrat dan calon presiden Susilo Bambang yudhoyono (walaupun untuk dugaan adanya indikasi aliran dana talangan tersebut ke pasangan Capres SBY-Boediono ditetapkan oleh hasil akhir Pansus adalah tidak benar dan tidak terbukti). Ini permasalahan politik serius. Dan, permasalahan inilah yang harus dijawab oleh Pansus.
Pansus Century sebagai sebuah solusi yang dicapai guna penyelidikan adanya dugaan penyimpangan dalam pemberian dana talangan kepada Bank Century dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab yang dibebankan kepadanya berlandaskan pada lima dasar kerja yang menjadi agenda, latar belakang pembentukan pansus, serta tujuan pansus itu lahir. Adapun kelima agenda kerja tersebut (yang tercantum dalam bagian awal hasil laporan akhir Pansus Century) secara singkat adalah sebagai berikut.
• Mengetahui sejauh mana pemerintah menjalankan UU yang berlaku terkait dengan dana talangan yang diberikan kepada Bank Century.
• Mengurai secara transparan komplikasi dana talangan Bank Century, sejauh mana keterlibatan Kabareskrim Susno Duadji pada proses tersebut, serta konspirasi pemerintah juga jajaran Bank Century terkait dengan dana talangan tersebut.
• Mengetahui ke mana dana talangan tersebut sebenarnya mengalir.
• Mengetahui mengapa bisa dana talangan yang diberikan membengkak jumlahnya menjadi sekitar 6,7 triliun rupiah tanpa adanya persetujuan DPR, padahal Bank Cenruty adalah bank kecil yang sejak awal telah bermasalah dan dirasa tidak akan menimbulkan dampak serius bagi per.bankan Indonesia
• Mengetahui seberapa besar kerugian negara akibat skandal Bank Century tersebut dan seberapa besar uang negara yang dapat diselamatkan nantinya.
Kelima agenda kerja tersebutlah yang dapat dikatakan melatarbelakangi pembentukan Pansus Century selain latar belakang yang telah terpaparkan dengan cukup jelas dalam bagian pendahuluan dalam makalah ini. Kelima agenda kerja tersebut secara otomatis menjadi landasan kerja Pansus Century dan menjadi tujuan pembentukannya. Selama lebih kurang dua bulan Pansus Century bekerja, didasarkan atas kelima agenda tersebut. Dan, hasil penyelidikan dan investigasi yang dilakukan Pansus Century pada natinya akan dilaporakan dalam Sidang Paripurna DPR sebagai hasil kerja Pansus Century.

2.3 Hasil Kerja Pansus terkait Skandal Bank Century
Terkait dengan berbagai kerancuan dan adanya indikasi berbagai penyimpangan yang dilakukan dalam skandal Bank Century, maka Pansus sebagai pihak berwenang yang memegang mandat dan tanggung jawab guna menyelidikinya telah melakukan tugas dan tanggung jawab dengan baik. Sebagai sebuah catatan yang perlu diketahui bahwa, Pansus terkait skandal Bank Century adalah pansus pertama dalam sejarah Indonesia yang kinerja dan langkah-langkah kerjanya disaksikan serta diekspos secara langsung dan terbuka oleh media masa yang disampaikan kepada seluruh bangsa Indonesia, walaupun ada beberapa pembicaraan rapat yang dengan alasan tertentu yang berlaku, tidak dipublikasikan karena bersifat amat tertutup dan rahasia.
Berikut ini adalah pemaparan mengenai hasil kerja Pansus terkait skandal Bank Century.

Hasil Pansus Century
Hasil kerja Pansus merupakan sebuah laporan hasil akhir Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket DPR terkait skandal Bank Century yang dihasilkan selama masa kerja kurang lebih dua bulan. Berikut adalah kronologis pemaparan secara singkat namun jelas mengenai hasil kerja Pansus Century tersebut.
Hasil Pansus Century mulai terkuak, dan hal tersebut terlihat ketika pembacaan kesimpulan Pansus Century oleh masing-masing fraksi yang ada di DPR yang disiarkan langsung oleh stasiun televisi swasta pada Rabu 24 Februari 2010.
Berikut adalah pandangan atau kesimpulan akhir dari 9 Fraksi di DPR tentang kasus Bank Century yang selama ini telah banyak menyita waktu dan pemikiran, serta biaya.
• Fraksi Partai Demokrat menilai, secara keseluruhan proses penyelamatan Bank Century sudah disesuai dengan prosedur perundangan yang berlaku. Tidak ditemukan juga aliran dana ke parpol atau ke capres sebagaimana dituduhkan.
• Fraksi PDIP menilai, mantan Gubernur BI, Boediono dan mantan Ketua KSSK, Sri Mulyani harus bertanggungjawab atas berbagai kebijakan soal proses dan bail out Bank Century.
• Fraksi Partai Golkar juga menilai ada penyimpangan aliran dana Bank Century dan itu berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan Investigasi BPK atas Kasus Bank Century Tbk. Disebutkan dua penyimpangan terkait aliran dana FPJP dan PMS, yaitu Bank Century melakukan pembayaran dana pihak ke tiga terkait bank selama Bank Century berstatus sebagai bank dalam penanganan khusus sebesar Rp 938,645 juta, yang melanggar aturan PBI tentang tindak lanjut pengawasan dan penetapan status bank sebagaimana diubah dengan PBI No 7/38/PBI/2005.
• Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mendapat giliran ke lima menyampaikan pandangan akhir terkait kasus Bank Century. Seperti disampaikan anggota Pansus, Romahur Muzy, kasus Century diduga merugikan keuangan negara. "Keuangan Bank Indonesia adalah keuangan negara. Dana LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) untuk mengambil alih Bank Century melalui pinjaman modal sementara (PMS) sepenuhnya ranah keuangan negara," kata dia di Gedung Dewan, Senayan, Jakarta, Rabu 24 Februari 2010 dini hari.
• Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) mengindikasikan adanya modus tindak pidana perbankan dalam kasus Bank Century. "Kami menemukan beberapa perilaku yang mengarah kepada tindak pidana perbankan," kata anggota Panitia Angket dari Partai Amanat Nasional, Asman Abnur, dalam penyampaian pandangan akhir Fraksi terkait kasus Bank Century, di rapat Panitia Angket, Selasa (23/2), di Gedung DPR/MPR RI.
• Fraksi Partai Hanura dalam pandangan akhir fraksinya terkait Kasus Bank Century memandang bahwa Boediono-Sri Mulyani adalah pihak yang bertanggungjawab soal Bank Century sehingga perlu diproses hukum. Terutama Boediono perlu diprotes sampai Mahkamah Konstitusi.
• Fraksi PKS dalam pembacaan akhir pandangan terhadap kasus Bank Century mengemukakan ada penyimpangan dalam pengelolaan Bank Century yang dilakukan para pengurus bank yang berakibat memburuknya kondisi bank berupa memburuknya likuiditas, rentabilitas, dan solvabilitas
• Meski tak menyebut nama, salah satu butir pandangan akhir Fraksi Partai Gerindra menyatakan meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memeriksa para pejabat Bank Indonesia yang diduga melakukan tindak pidana korupsi dalam proses pengucuran dana talangan Bank Century.
• Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menilai, penanganan Bank Century oleh Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) dengan menyuntikkan dana talangan, telah sesuai aqidah fikih. Alasannya, penanganan Bank Century dilakukan dalam dalam keadaan darurat.
Pansus menindaklanjuti pandangan akhir itu dengan membentuk tim kecil. Tugasnya, merumuskan naskah kesimpulan dan rekomendasi yang akan disampaikan ke rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat dengan didampingi tim ahli.
Sembilan perwakilan fraksi ditunjuk jadi anggota tim kecil. Mereka adalah:
1. Demokrat: Benny K Harman
2. Golkar: Agun Gunanjar Sudarsa
3. PDIP: Hendrawan Supratikno
4. PKS: Andi Rahmat
5. PAN: Laurent
6. PPP: Romahur Muzy
7. PKB: Agus Sulistiyo
8. Gerindra: Ahmad Muzani
9. Hanura: Akbar Faisal
Sementara, Wakil Ketua Pansus, Mahfudz Siddiq didaulat menjadi ketua tim kecil. Hasil kerja tim kecil akan dilaporkan ke Pansus pukul 10.00, Kamis 25 Februari 2010.
Pandangan akhir fraksi mayoritas mengatakan ada dugaan penyimpangan dalam proses merger hingga pengucuran dana talangan Century. Sementara Demokrat dan PKB tidak mempermasalahkan persoalan bail out. Skor akhir 7:2. Dalam paparan, hanya tiga partai yang terang-terangan menyebut nama-nama yang diduga bertanggung jawab, yakni PDIP, PKS, dan Golkar —yang awalnya hanya menyebut inisial saja, lalu menjelaskan arti inisial tersebut.
Pada akhirnya, setelah melalui perdebatan alot, maka tim kecil berhasil menghasilkan konstruksi kesimpulan akhir Pansus yang disusun sebanyak 7 bab dengan 1 kesimpulan. Konstruksi kesimpulan akhir Pansus tersebut terdiri dari:
• Bab I Pendahuluan, yang berisi paparan tentang latar belakang terbentuknya panitia angket, landasan hukum bekerjanya Pansus Hak Angket, objek dan tujuan penyelidikan serta keanggotaan Panitia Angket.
• Bab II Kerangka Kerja Panitia Angket dan Metode Penyelidikan.
• Bab III Paparan data-data dasar dari audit BPK, PPATK dan dokumen lainnya.
• Bab IV Paparan data dan hasil penyelidikan Pansus dari proses akuisi, merger, FPJP, dan aliran dana.
• Bab V Hasil analisis Pansus.
• Bab VI Pandangan masing-masing fraksi terkait penyelidikan .
• Bab VII Kesimpulan.
• Bab VIII Rekomendasi dan Lampiran.
Sejalan dengan hal di atas, dari hasil lobi-lobi menjelang munculnya rekomendasi Panitia Khusus Angket Kasus Bank Century, muncul tiga rancangan kesepakatan. Rancangan pertama, tak ada masalah dengan bail out Bank Century. Ke dua, bail out tak masalah untuk menyelamatkan krisis, tapi dalam implementasi terdapat masalah. Ke tiga, kebijakan bail out dan implementasi bermasalah.
Panitia Hak Angket DPR untuk Kasus Bank Century, Selasa 2 Maret 2010, akan membacakan rekomendasi penyelesaian kasus Bank Century pada Rapat Paripurna DPR. Malam sebelumnya, Pansus berhasil mengerucutkan pandangan akhir menjadi dua draft alternatif dari tiga draft yang sebelumnya ditawarkan seperti tertera di atas. Pertama, menekankan pada putusan bail out dan pemberian dana talangan wajar dilakukan, karena situasi krisis. Meskipun dalam pemakaiannya terjadi penyalahgunaan, draft ini, tidak dapat menegaskan kerugian negara. Sedangkan draft ke dua, setuju bahwa bail out dan pemberian dana talangan adalah suatu kesalahan. Ada indikasi tindak pidana korupsi yang merugikan negara.
Sebagian besar anggota Pansus berharap putusan paripurna dapat diketahui siang pada tanggal 2 Maret 2010. Dengan harapan, putusan akhir Pansus disiarkan secara terbuka, sehingga dapat diketahui umum. Dengan begitu, besoknya tidak lagi diperlukan rapat. Meski begitu, forum Pansus tidak memiliki wewenang untuk mengatur Badan Musyawarah.
Rapat paripurna DPR di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa 2 Maret 2010 resmi dibuka oleh Ketua DPR, Marzuki Alie. Rapat dihadiri oleh 431 dari total 560 anggota DPR. Boleh jadi, ini merupakan rapat paripurna dengan anggota DPR hadir terbanyak. Ini terjadi, tak lain karena rapat paripurna kali ini membahas masalah yang panas: Laporan Panitia Khusus (Pansus) DPR tentang Hak Angket Bank Century. Selain itu, ada agenda lain, yakni penetapan Taufik Kurniawan sebagai Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional. Ia mengantikan Marwoto Mitroharjono yang meninggal.
Anggota Fraksi Demokrat hadir paling banyak. Menurut catatan, semua perwakilan fraksi hadir. Dari Demokrat, sebanyak 114 dari 148 orang anggota hadir, dari Golkar, 95 dari 106 anggota DPR hadir, dari PDI Perjuangan 80 dari 94 orang hadir, dan dari Partai Keadilan Sejahtera 43 dari 57 orang hadir. Dari Partai Amanat Nasional 24 dari 46 hadir, dari Partai Persatuan Pembangunan 21 dari 38 orang hadir, dari Partai Kebangkitan Bangsa 16 dari 28 orang hadir, dari Partai Gerindra 23 dari 26 orang hadir dan dari Partai Hanura 15 dari 17 orang hadir.
Akhirnya, pada pagi hari Selasa 2 Maret 2010, Ketua Panitia Khusus (Pansus) Bank Century, Idrus Marham membacakan laporan kerja Pansus pada rapat paripurna DPR di Gedung DPR/MPR RI, Jakarta. Pada pembukaan laporan Idrus mengungkapkan, pihaknya menilai ada indikasi pelanggaran yang dilakukan pemerintah. Idrus menerangkan, Pansus Bank Century tidak bermaksud menunjuk orang-perorang. Siapa yang telah melanggar aturan tentu harus ditindak. Pasalnya, hal tersebut berdasarkan asas akuntabilitas. Setelah itu, Idrus lalu menjabarkan proses penyelidikan yang telah dilakukan Pansus Bank Century.
Rencananya, rapat paripurna hari itu hanya membacakan laporan Pansus Bank Century. Keesok harinya, Rabu 3 Maret 2010, rapat paripurna DPR akan menggelar pandangan fraksi dan memutuskan kesimpulan serta rekomendasi. Akan tetapi, rapat paripurna DPR tersebut berakhir ricuh karena sebagian peserta rapat tidak setuju dan tidak menerima keputusan sepihak Ketua DPR menutup rapat tersebut.
Kembali pada pembacaan hasil kerja Pansus Century, Panitia Hak Angket DPR untuk Kasus Bank Century menyimpulkan bahwa kebijakan akuisisi dan merger tiga bank, yakni CIC, Dampac, dan Bank Pikko melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku. Akuisisi ini pun syarat dengan penipuan, pencucian uang yang dilakukan pemilik dan pengurus bank. Bahkan, Pansus menilai proses akuisisi dan merger itu telah melanggar peraturan perundang-undangan, syarat penipuan dan praktik pencucian uang oleh pemilik, pengurus, dan pejabat bank. Praktik penipuan dan pencucian uang yang dilakukan manajemen Bank Century, dilakukan secara terus menerus. Ini terjadi akibat lemahnya pengawasan otoritas Bank Indonesia. Pihak BI pun dinilai tidak tegas dalam menindak pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan manajemen Bank Century. Bahkan, BI justru memberikan kebijakan yang berlebihan terhadap proses akuisisi merger Bank Century. Padahal, pemilik bank jelas-jelas tidak melaksanakan komitmen-komitmennya.
Dalam kesimpulan Pansus ini, sebagian besar fraksi yang ada menyatakan beberapa pejabat perbankan dan institusi lainnya yang diduga bertanggung-jawab atas semua pelanggaran dalam kasus Bank Century. Nama mantan Gubernur BI yang kini Wakil Presiden, Boediono, dan mantan Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang kini Menteri Keuangan, Sri Mulyani, termasuk pejabat yang dianggap paling bertanggungjawab. Selain sejumlah pejabat perbankan, juga disebutkan pihak-pihak lain dari pemilik dan manajemen Bank Century. Pansus merekomendasikan agar semua pihak yang diduga bertanggung-jawab ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum, dalam hal ini Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Demikianlah hasil kerja Pansus Century dalam hal penanganan skandal Bank Century yang bermasalah. Draft hasil kerja yang dibacakan oleh ketua Pansus Century dalam sidang Paripurna DPR I pada tanggal 2 Maret 2010 merupakan hasil kerja Pansus Century selama kurang lebih dua bulan bertugas. Dan, apresiasi tinggi layak diberikan bagi Pansus Century terkait hasil kerjanya tersebut. Dengan pembacaan hasil kerja tersebut, yang di dalamnya berisikan berbagai hasil investigasi terkait skandal Bank Century, juga memuat kesimpulan dan rekomendasi penanganan skandal Bank Century, maka berakhirlah masa kerja Pansus Century sebelum dibubarkan secara resmi oleh DPR. Hasil kerja yang brilian dan baik dari Pansus Century ini pada nantinya diserahkan pada DPR untuk dijadikan pedoman dalam menentukan kebijakan dan kebijaksanaan dalam memutuskan perkara skandal Bank Century. Dan, hal ini akan dibahas dan diputuskan dalam sidang Paripurna DPR II pada tanggal 3 Maret 2010.
Berakhirlah tugas Pansus Century dengan dibacakannya hasil kerja Pansus Century di atas. Namun, sayang sekali, hingga akhir penulisan makalah ini, penulis tidak berhasil mendapatkan salinan naskah atau draft hasil kerja Pansus Century yang dibacakan oleh ketua Pansus Century pada sidang Paripurna I DPR di atas. Upaya penelususran melalui internet telah dilakukan, namun sejauh ini memang belum ada publikasi terkait naskah hasil kerja Pansus Century tersebut. Penulis sejauh ini hanya berhasil mendapatkan video rekaman pembacaan naskah hasil kerja Pansus Century tersebut melalui internet. Namun, setidaknya isi naskah hasil kerja Pansus Century dapat terpaparkan melalui video tersebut guna penyampaian informasi yang jelas. Video tersebut penulis sertakan pula dalam bagian makalah ini sebagai lampiran terpisah dari makalah ini.
Memang, tugas Pansus Century telah usai. Namun, dalam makalah ini penulis merasa kurang bertanggung jawab apabila tidak memaparkan pula –walaupun secara singkat namun jelas- mengenai kelanjutan dari skandal Bank Century yang diputuskan pada sidang Paripurna DPR II pada tanggal 3 Maret 2010. Sejalan dengan hal tersebut, kita melihat bahwa kerja Pansus telah selesai, namun permasalahan yang sesungguhnya barulah dimulai, yakni bagaimana nantinya terjadi pergumulan konflik yang bakal terjadi terkait dengan penindaklanjutan hasil kerja Pansus Century tersebut. Berikut ini pemaparannya.
Setelah melalui perdebatan alot, pimpinan fraksi di DPR, akhirnya menyepakati bahwa keputusan DPR terkait skandal Bank Century, diambil melalui mekanisme voting. Namun, pilihan yang akan diajukan untuk divoting masih mengambang. Ini karena ada opsi yang masih membutuhkan persetujuan anggota dewan untuk dijadikan pilihan voting. Menurut Priyo Budi Santoso, Ketua Fraksi Partai Golkar saat dihubungi Metro TV, Rabu 3 Maret 2010 malam, mengakui bahwa lobi antar-pimpinan fraksi berlangsung alot dan sangat melelahkan. Meski begitu, lobi akhirnya menyepakati bahwa sidang nanti akan membawa penawaran kepada terkait pilihan sikap yang akan divoting. Priyo menjelaskan bahwa sidang keputusan dewan nanti mungkin memilih opsi A dan C, seperti yang diajukan Panitia Khusus Hak Angket Bank Century. Atau pilihan kedua, yakni opsi A, opsi C, dan opsi AC. Namun, untuk opsi ke tiga bisa ditawarkan jika pengusul opsi ini, yakni Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Amanat Nasional, bisa meyakinkan anggota dewan. Mereka harus bisa memastikan bahwa pilihan tersebut, bukan hal yang baru.
Sekadar diketahui, Opsi A yang diusulkan Pansus menyimpulkan bahwa kebijakan dan pelaksanaan pemberian Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek (FPJP) dan Penyertaan Modal Sementara (PMS) untuk Bank Century tidak bermasalah. Sedangkan Opsi C sebaliknya. Kebijakan dan pelaknanaan pemberian FPJP dan PMS dinilai sama-sama bermasalah, sehingga perlu diproses hukum. Sedangkan opsi AC bisa dikatakan sama dengan draft rekomendasi B yang semula ditawarkan oleh Pansus Century sebelum dikerucutkan menjadi dua draft, yakni mengatakan bahwa kebijakan bail out sudah tepat, namun implementasi bermasalah.
Lobi pimpinan fraksi di DPR, akhirnya menyepakati bahwa keputusan DPR terkait skandal Bank Century, diambil melalui mekanisme voting. Pilihannya, opsi A, C, dan AC. Meski begitu, lima fraksi berkeyakinan bahwa sidang paripurna yang akan dilanjutkan pukul 20.00 WIB ini, akan memilih opsi C, yakni Kebijakan dan pelaknanaan pemberian FPJP dan PMS untuk Bank Century sama-sama bermasalah, sehingga perlu diproses hukum.
Sementara itu, menjelang sidang lanjutan, puluhan anggota dewan dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan dan Golongan Karya kompak menyanyikan lagu “Maju Tak Gentar”. Mereka penuh semangat mengumandangkan lagu perjuangan tersebut. Ini sebagai tanda sikap mereka untuk tetap memilih opsi C dalam voting terbuka di sidang nanti. Nyanyian anggota dewan ini cukup membahana di Gedung Nusantara DPR/MPR. Lima fraksi yang berketetapan memilih opsi C adalah Golkar, PDI Perjuangan, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dan Hati Nurani Rakyat (Hanura). Munculnya pilihan AC adalah karena ada pihak-pihak yang tidak ingin kehilangan muka. Mereka pun memilih aklamasi.
Sidang Paripurna DPR akhirnya menyimpulkan serta merekomendasikan bahwa kebijakan dan pelaksanaan pemberian Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek (FPJP) dan Penyertaan Modal Sementara (PMS) untuk Bank Century bermasalah. Artinya, sidang memilih Opsi C. Sebelumnya anggota DPR dihadapkan pada dua pilihan: Opsi A dan C. Opsi pertama menyebutkan pemberian FPJP dan PMS tidak bermasalah. Sementara Opsi C menyebutkan sebaliknya. Dan, melalui voting terbuka akhirnya disepakati pemberian dua fasilitas itu bermasalah.
Berdasarkan hasil pemungutan suara, 212 anggota Dewan memilih Opsi A, sementara 325 anggota lainnya menghendaki Opsi C. Berikut hasil lengkap voting
Pemilih Opsi C
Partai Golkar : 104 suara
Partai PDI Perjuangan : 90 suara
PKS : 56 suara
PPP : 32 suara
Gerindra : 25 suara
PKB : 1 suara
Hanura : 17 suara

Jumlah : 325 suara

Pemilih Opsi A
Partai Demokrat : 148 suara
PAN : 39 suara
PKB : 25 suara

Jumlah : 212 suara

Demikianlah hasil pembahasan yang dapat penulis paparkan dalam makalah ini.




BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan atas uraian dalam bagian pembahasan di atas, maka dapat penulis paparkan kesimpulan sebagai berikut. Bahwasanya, skandal Bank Century yang menghebohkan serta menjadi sebuah polemik besar Bangsa Indonesia dalam rentang waktu 2009-2010 bermuara pada krisis ekonomi dan finansial global yang terjadi pada tahun 2008. Krisis yang bermula di negara adi daya Amerika Serikat yang memaksa sejumlah perusahaan asuransi dan finansial terkemuka Amerika Serikat merugi bahkan bangkrut sehingga membutuhkan dana bantuan penyelamatan bank sentral, ternyata merambat dan memberikan pengaruh yang signifikan secara meluas hampir ke seluruh pelosok dunia, baik di Eropa, Asia, Timur Tengah, dan lain sebagainya. Indonesia pun tidak terlepas dari imbas krisis tersebut. Hal ini terlihat dengan kesulitan yang dihadapai oleh beberapa bank di Indonesia yang memerlukan dana bantuan penyelamatan bank sentral. Dan, salah satu bank yang bermasalah tersebut adalah Bank Century.
Namun, polemik bermula ketika ditemukan adanya beberapa kejanggalan dan indikasi penyimpangan yang dilakukan dalam usaha penyelamatan Bank Century. Pemberian dana talangan atau bail out yang semula disetujui hanya berjumlah sekitar 632 milyar rupiah malah membengkak tinggi menjadi sekitar 6,7 triliun rupiah. Hal ini menjadi buah bibir umum sebab banyak pihak menyangsikan kebenaran tersebut sebab Bank Century hanyalah bank kecil yang sejak awal bermasalah dan dirasa tidak akan menimbulkan efek yang besar bagi finansial dan perbankan Indonesia. Kebijakan Bank Indonesia dan Menkeu, Sri Mulyani yang juga menjabat sebagai kepala KSSK saat itu dirasa menyimpang walaupun alasan yang diberikan saat itu dirasa mendesak karena Bank Century dianggap bank gagal yang berdampak sistemik bagi perbankan Indoensia jika tidak cepat-cepat ditangani. Namun, itu semua belum jelas.
Berbagai kebijakan dan implementasinya dalam skandal Bank Century pada akhirnya memunculkan ide dibentuknya Panitia Khusus (Pansus) guna menyelidiki berbagai indikasi penyimpangan yang terjadi berdasarkan lima poin agenda kerja yang tertera dalam bagian pembahasan makalah ini. Dan, pansus dalam tugas dan tanggung jawabnya telah melakukan kinerja dengan baik selama lebih kurang dua bulan masa kerja dengan menghasilkan laporan hasil kerja berikut kesimpulan dan rekomendasinya dalam Sidang Paripurna DPR pada tanggal 2 Maret 2010 sebagaimana dipaparkan dalam bagian pembahasan dalam makalah ini.

3.2 Saran
Penulis dalam kaitannya dengan penulisan makalah ini tidak lupa memberikan saran sederhana terkait dengan skandal Bank Century yang begitu menyita perhatian Bangsa Indonesia. Sewajarnya sebagai negara hukum yang berlandaskan pada konstitusi, sudah sewajarnya segala sesuatunya dilandaskan atas hukum dan konstitusi tersebut. Begitu pula dengan penanganan skandal Bank Century ini. Dan, dibentuknya Pansus Century guna menguak apa yang masih terlihat “samar-samar” menurut penulis merupakan hal yang tepat. Pansus Century telah bekerja dengan baik yang ditunjukkan dengan laporan hasil kerja yang telah disampaikan dalam Sidang Paripurna DPR I pada tanggal 2 Maret 2010. Menanggapi hal ini, penulis menyarankan kepada segenap pihak, terutama sesama rekan mahasiswa, kaum akademisi, serta seluruh rakyat Indonesia bahwasanya apapun keputusan yang pada nantinya dihasilkan perlu lah kita kritisi bersama dan kita monitori agar benar-benar diaplikasikan dan tidak menjadi sebuah permainan belaka. Jangan jadikan hukum dan konstitusi negara ini bahan permainan oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Sudah saatnya bangsa ini “berani malu” dan berbenah diri menuju ke arah yang lebih baik dengan jiwa kesatria. Jika bukan sekarang, kapan lagi?







DAFTAR PUSTAKA

George, Junus Aditjondro. 2009. Membongkar Gurita Cikeas, Dibalik Skandal Century. Yogyakarta: Penerbit Galangpress
TEMPO interkatif Nasional. Kronologi Aliran Rp 6,7 Triliun ke Bank Century: Sabtu, 14 November 2009 | 14:42 WIB
TEMPO interkatif Nasional. Kronologi Aliran Rp 6,7 Triliun ke Bank Century: Sabtu, 14 November 2009 | 14:42 WIB
http://www.liputan6.com: Bogi Triyadi, 16/09/2009 19:17 WIB
http: // www.catur budi wibowo’s Blog.com 30 oktober 2008
http: // www. WordPress.com. oleh Ardiannur Ar-Royya. 15 Desember 2009
http: // www. koranjakarta.com Senin, 30 Nopember 2009
http: // www. WordPress.com. oleh Setiawan Heru 3 Maret 2010
http: // www. WordPress.com. oleh Dunia Anggra 4 Maret 2010
http: // www. WordPress.com. oleh Hadi Soesastro 25 Februari 2010
http://www.liputan6.com: Bogi Triyadi, 16/09/2009 19:17 WIB
http://www.dutamasyarakat.com, 7 September 2009
http://karodalnet.blogspot.com/2009/12/kasus-bank-century.html: 03 Desember 2009
http://www.karodalnet.blogspot.com 24 Februari 2010 17.13 WIB
http://www.WordPress.com oleh Jaka Kelana 24 Februari 2010 17.13 WIB
http://www.antasari.net oleh antasari 20 Februari 2010
http://www Mahfudz Siddiqblog.com oleh Mahfudz Siddiq 2 Maret 2010 10:54 AM
www.metrotvnews.com Headline News / Polkam / Selasa, 2 Maret 2010 08:19 WIB
www.metrotvnews.com Headline News / Polkam / Selasa, 2 Maret 2010 10:09 WIB
www.metrotvnews.com Polkam / Selasa, 2 Maret 2010 11:51 WIB
www.metrotvnews.com Breaking News / Polkam / Selasa, 2 Maret 2010 12:22 WIB
www.metrotvnews.com Breaking News / Polkam / Rabu, 3 Maret 2010 19:15 WIB
www.metrotvnews.com Breaking News / Polkam / Rabu, 3 Maret 2010 20:17 WIB
www.metrotvnews.com Breaking News / Polkam / Rabu, 3 Maret 2010 23:20 WIB

WAYANG SAPUH LEGER

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Perumusan Masalah
Bali dikenal sebagai pulau yang memiliki berbagai kebudayaan dan seni. Kebudayaan dan seni di Bali, sebagian besar diyakini bersifat sakral dan memiliki suatu nilai-nilai ritual yang mendukung terlaksananya upacara-upacara Hindu di Bali. Salah satu contohnya adalah kesenian wayang kulit, yaitu Wayang Sapuh Leger. Di Bali, pagelaran Wayang Sapuh Leger tidak hanya dijadikan hiburan dan tontonan semata, melainkan digunakan dalam pelaksanaan upacara-upacara yadnya, yaitu upacara Manusa Yadnya. Selain itu, jika ditinjau lebih jauh cerita yang terkandung dalam pagelaran Wayang Sapuh Leger yang diambil dari beberapa kitab maupun lontar, sesungguhnya mengandung begitu banyak nilai-nilai moral serta etika yang dapat dijadikan pedoman hidup dalam bermasyarakat.
Menurut Yudabakti (2007) pementasan Wayang Sapuh Leger dipercaya karena keangkerannya. Kekhususan pertunjukan wayang ini karena sarana dan prasarana pentasnya, dan cerita yang diambil. Dalam lontar Kala Tatwa disebutkan bahwa barang siapa yang lahir pada hari atau wuku wayang akan dimangsa oleh Bhatara Kala. Karena menyamai kelahiran Bhatara Kala sendiri.
Perkembangan zaman, teknologi, yang disertai dengan masuknya kebudayaan-kebudayaan asing di Bali, mengakibatkan nilai-nilai budaya sakral di dalam pementasan Wayang Sapuh Leger dalam masyarakat Bali kian menyusut. Fanatisme masyarakat Bali terhadap penyelenggaraan Wayang Sapuh Leger cenderung terabaikan. Padahal pelaksanaan upacara keagamaan khususnya Wayang Sapuh Leger memiliki nilai-nilai ritual yang sakral karena dipercayai jika seorang anak yang lahir pada Tumpek Wayang tidak diupacarai dengan Wayang Sapuh Leger maka akan berdampak negatif terhadap kehidupan anak tersebut. Salah satu contoh nyata yang terjadi yaitu fenomena di Desa Belimbing, Kecamatan Pupuan, Kabupaten Tabanan, Bali. Dari hasil wawancara penulis dengan masyarakat setempat, diperoleh informasi bahwa seorang anak di desa Belimbing bernama Ni Kadek Sulistiari (7 tahun) yang lahir pada Tumpek Wayang namun tidak diupacarai Wayang Sapuh Leger, dilanda suatu penyakit gatal-gatal yang tidak dapat disembuhkan secara medis. Berdasarkan kepercayaan masyarakat setempat hal tersebut diduga karena anak tersebut belum diupacarai ruwat Sapuh Leger. Setelah diupacarai ruwatan (pembersihan) Sapuh Leger anak tersebut akhirnya sembuh dari penyakit yang diderita selama ini. Realita ini menunjukkan bahwa betapa sakralnya nilai yang terkandung di dalam upacara Wayang Sapuh Leger. Selain itu, anak yang lahir pada wuku wayang apabila tidak diupacarai Wayang Sapuh Leger akan dikuasai oleh sifat-sifat raksasa yang dapat merugikan dirinya sendiri maupun orang lain. Misalnya saja, anak tersebut akan cepat emosi, suka membuat onar, dan suka menyakiti temannya. Apabila orang yang lahir pada wuku wayang belum diupacarai ruwatan Sapuh Leger, maka ia akan disakiti oleh kekuatan negatif Bhatara Kala selama hidupnya.
Selain memiliki nilai budaya-budaya seni yang sakral, Bali juga terkenal dengan solidaritas dari masyarakatnya. Hal ini dibuktikan, bahwa sejak zaman dahulu upacara religi atau agama dilaksanakan oleh banyak warga pemeluk religi yaitu masyarakat Hindu di Bali yang memiliki sosial untuk mengintensifkan solidaritas masyarakatnya. Ketika suatu keluarga menyelenggarakan suatu upacara agama, maka warga yang lain akan ikut membantu dalam pelaksanaan upacara tersebut (gotong royong) yang dikenal dengan istilah matulungan. Namun munculnya budaya-budaya asing memberi dampak pada kehidupan sosial masyarakat. Sering dijumpai khususnya di kota-kota besar nilai-nilai gotong royong sudah mulai tenggelam bahkan tak jarang suatu keluarga sama sekali tidak pernah bertutur sapa dengan tetangganya sendiri. Padahal manusia adalah makhluk sosial (zoon politicon) yang tidak dapat hidup sendiri. Oleh karena itu, kerukunan dan adanya sikap saling tolong menolong harus dilestarikan. Dengan meningkatkan nilai-nilai religi atau agama akan dapat mengintensifkan hubungan sosial masyarakat. Pertunjukan Wayang Sapuh Leger yang terikat dengan sistem upacara merupakan suatu perwujudan dari religi tersebut.
Perkembangan teknologi yang semakin canggih juga menyebabkan kian memudarnya nilai-nilai budi pekerti yang dimiliki oleh generasi muda di Bali. Kecenderungan generasi muda saat ini lebih memilih mengikuti budaya asing yang saat ini menjamur di masyarakat. Teknologi canggih seperti internet disalahgunakan oleh para remaja. Menurut Admin (2010) hampir 30 persen pengguna internet di Indonesia berasal dari kalangan remaja berusia 15-24 tahun. Bagi kalangan remaja Bali, khususnya remaja tingkat SMP (Sekolah Menengah Pertama) dan SMA (Sekolah Menengah Atas ), internet sudah tentu bukanlah hal yang asing. Sebaliknya jika potensinya tidak dikembangkan dan diarahkan mereka bisa terlibat dengan berbagai jenis kenakalan remaja, seperti seks bebas.
Salah satu contoh yang dapat diamati saat ini adalah banyaknya anak muda yang berhenti sekolah karena hamil di luar nikah serta beredarnya video-video porno anak sekolahan. Hal tersebut merupakan cerminan bahwa budi pekerti generasi muda saat ini sudah merosot. Padahal pemerintah melalui dinas pendidikan sudah menggencarkan berbagai cara agar siswa-siswa sebagai generasi penerus bangsa memiliki moral serta etika yang luhur. Salah satu contohnya adalah dengan pemberian muatan lokal budi pekerti, dan pendidikan Pancasila. Namun, sampai saat ini hal tersebut belum dapat memiliki dampak sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Hal ini mungkin disebabkan karena siswa cenderung merasa jenuh dan bosan mengikuti pelajaran sehingga pendidikan serta amanat yang disampaikan menjadi terabaikan.
Sejak masa lampau pertunjukan wayang kulit menjadi salah satu media pendidikan informal bagi warga masyarakat. Betapa tidak, pertunjukan wayang kulit yang memadukan berbagai unsur seni rupa, sastra, gerak dan suara, dalam pementasannya tidak saja menampilkan lakon-lakon literer yang diambil dari karya-karya sastra klasik terutama Mahabrata dan Ramayana, kesenian ini juga menyajikan petuah-petuah mengenai nilai-nilai moral, spiritual dan sosial sehingga masyarakat yang buta huruf akan memperoleh ajaran-ajaran tatwa, yajna, dan etika. Oleh masyarakat atau penonton, semuanya ini dijadikan pedoman dan tuntunan bagi kehidupan mereka sehari-hari. Dari agama Hindu, wayang menyerap juga ajaran-ajaran dan nilai-nilai itu. Hal ini jelas sekali diekspresikan dalam Mahabarata dan Ramayana yang merupakan sumber lakon-lakon wayang (Amir, 1997).
Menurut Wicaksana (2004) Tumpek Wayang merupakan hari istimewa bagi umat Hindu di Bali. Bagi umat Hindu di Bali, ada keyakinan bahwa anak yang lahir pada Tumpek Wayang memiliki sifat-sifat negatif karena hari itu dianggap memiliki nilai cemer (kotor) yang membawa sial. Anak tersebut dikhawatirkan dirundung malapetaka, akibat dikejar-kejar Dewa Kala. Menurut lontar “Sapuh Leger”, Dewa Siwa memberi izin kepada Dewa Kala untuk memangsa anak yang dilahirkan pada wuku wayang atau tumpek wayang . Untuk memusnahkan sifat-sifat negatif pada anak tersebut serta menghindari bahaya akibat dikejar-kejar Dewa Kala, maka ada solusi yang merupakan keyakinan pula, yakni memohon tirta (air suci) penglukatan atau pengruwatan (penyucian) dari pagelaran upacara Wayang Sapuh Leger.
Menurut Wicaksana (2007) di Bali ada tiga macam pertunjukan wayang yang mendapat kedudukan istimewa di antara jenis wayang lainnya yakni, Wayang Sapuh Leger, Wayang Lemah, dan Wayang Sudamala. Ketiga wayang tersebut dianggap sakral karena memiliki persamaan fungsi yaitu ngruwat (penyucian). Namun di antara ketiga wayang itu, Wayang Sapuh Leger yang paling istimewa. Kenyataan tersebut didukung oleh ciri-ciri spesifik yang dimilikinya, yaitu:
a) Wayang Sapuh Leger hanya dipentaskan pada hari lahir (otonan) anak atau orang yang dilahirkan pada wuku wayang, yaitu tiap-tiap 210 hari (6 bulan kalender Bali atau 7 bulan Masehi);
b) ceritanya menggunakan repertoar khusus yaitu mitos Dewa Kala. Mengisahkan tentang kelahiran dan perjalanan Dewa Kala (anak Dewa Siwa) yang memangsa anak yang lahir pada wuku atau tumpek wayang;
c) pementasannya diselenggarakan di pekarangan rumah orang yang akan diupacarai, mengambil tempat di bangunan sebelah barat (bale kauh) menghadap ke timur (kangin);
d) alat-alat perlengkapan dan sesajen (banten) meliputi, pohon pisang (gedebong) berikut buah dan jantungnya (biu lalung) serta perlengkapan sarana wayang seperti layar (kelir), lampu (blencong), kotak wayang (kropak), semuanya dililit dengan benang tenun (tukelan) berisi uang bolong 250 biji (uang kepeng Cina). Seluruh perangkat wayang dan dalang termasuk iringannya (gender) disediakan sajen yang besar dan rumit;
e) Wayang Sapuh Leger hanya boleh dipergelarkan oleh seorang dalang yang telah disucikan (Ki Mangku Dalang atau Sang Mpu Leger) dan memahami isi lontar Dharma Pewayangan dan lontar Sapuh Leger. Selain itu, seorang dalang harus paham akan puja mantram sakralisasi diri dan sesajen-sesajen serta menguasai beberapa dewastawa yang ada hubungannya dengan pembuatan air suci (tirta panglukatan).
Dari keistimewaan itulah menyebabkan Wayang Sapuh Leger dibedakan dengan jenis pertunjukan wayang yang lainnya, sehingga dianggap paling angker dan paling berat baik bagi seorang dalang yang akan mementaskannya maupun bagi yang berkepentingan.
Berdasarkan seluruh uraian latar belakang di atas, permasalahan yang diajukan dapat dirumuskan sebagai berikut:(1)Bagaimanakah peranan Wayang Sapuh Leger sebagai pengukuhan ritual keagamaan dalam masyarakat Bali? (2) Bagaimanakah peranan Wayang Sapuh Leger sebagai pengukuhan institusi sosial dalam masyarakat Bali? (3) Bagaimanakah peranan Wayang Sapuh Leger sebagai pendidikan budi pekerti dalam masyarakat Bali?

1.2 Tujuan dan Manfaat Penulisan
Tujuan dari penulisan dengan topik tersebut di atas secara garis besar adalah: pertama, untuk mengetahui peranan Wayang Sapuh Leger sebagai pengukuhan ritual keagamaan dalam masyarakat Bali. Kedua, untuk mengetahui peranan Wayang Sapuh Leger sebagai pengukuhan institusi sosial dalam masyarakat Bali. Ketiga, untuk mengetahui peranan Wayang Sapuh Leger sebagai pendidikan budi pekerti dalam masyarakat Bali.
Manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan karya tulis ini yaitu dapat mengetahui peranan Wayang Sapuh Leger sebagai pengukuhan ritual keagamaan dalam masyarakat Bali. Di mana anak yang lahir pada wuku wayang wajib untuk diruwat upacara Sapuh Leger agar terhindar dari malapetaka. Kedua, dapat mengetahui peranan Wayang Sapuh Leger sebagai pengukuhan institusi sosial dalam masyarakat Bali. Di mana dalam penyelanggaraan upacara ruwat Sapuh Leger ini mempunyai nilai sosial untuk mengintensifkan solidaritas masyarakat. Ketiga, dapat mengetahui peranan Wayang Sapuh Leger sebagai pendidikan budi pekerti dalam masyarakat Bali. Cerita yang terkandung di dalam pementasan Wayang Sapuh Leger mengandung petuah serta nilai-nilai etika dan moral dalam masyarakat.















BAB II
TELAAH PUSTAKA
2.1 Pengertian Wayang Sapuh Leger
Menurut Wicaksana (2007) istilah Sapuh Leger berasal dari kata dasar “sapuh” dan “leger”. Dalam kamus Bali-Indonesia, kata sapuh (alus mider) artinya alat untuk membersihkan; nyapuh artinya membersihkan; kasapuhang artinya dibersihkan; masapuh-sapuh artinya melakukan pembersihan. Kata “leger” yang artinya tercemar atau kotor. Di Bali dijumpai kata “ngeleger” yang dekat dengan kata “melalung” yang artinya tanpa sehelai kain. Dijumpai pula kata “leteh” yang artinya tidak suci, dibuat kotor; kaletehan artinya dalam keadaan tidak suci. “Sapuh Leger” secara harafiah berarti membersihan atau penyucian dari keadaan yang tercemar atau kotor. Secara keseluruhan, Wayang Sapuh Leger adalah suatu drama ritual dengan sarana pertunjukan wayang kulit yang bertujuan untuk pembersihan atau penyucian diri seseorang akibat tercemar atau kotor secara rohani.
Pertunjukan wayang kulit di Bali secara tradisional memang erat kaitannya dengan upacara penyucian atau pembersihan, ditandai dengan keterlibatannya dalam setiap jenis upacara. Wayang selalu hadir pada setiap upacara baik sebagai bagian (wali) maupun sebagai pengiring (bebali) di samping jenis kesenian lainnya. Menurut Soenarto dalam Putri (2010) yang mengamati budaya ruwatan dengan pertunjukan wayang di Jawa, ada tiga faktor yang mendukung upacara Sapuh Leger dikaitkan dengan pertunjukan wayang yaitu, tradisi, hak sejarah (historisch recht), dan pasemon filosofik. Secara tradisional, wayang merupakan suatu peninggalan sektor kehidupan masyarakat yang diadatkan karena disakralkan atau dianggap sakral, oleh sebab itu sulit dihapus. Dalam perjalanan sejarahnya adalah suatu kenyataan bahwa asal mula wayang adalah perabot sarana upacara keagamaan (ritus) pada zaman animisme (syamanisme).
Secara tradisi, pertunjukan Wayang Sapuh Leger merupakan suatu peninggalan budaya kehidupan masyarakat Bali yang diadakan dan dianggap sakral, maka ia termasuk wali (bagian upacara) diselenggarakan untuk upacara keagamaan (Manusa Yajna) yaitu, untuk anak atau orang yang lahir pada wuku wayang. Pertunjukan ini berfungsi sebagai inisiasi, merupakan salah satu upacara ritus yang menyangkut keselamatan kehidupan umat manusia pendukung budaya tersebut. Hal ini sudah menjadi kebiasaan turun temurun dalam perilaku kehidupan sosial masyarakat Bali, dengan peristiwa tetap secara periodik, berulang tiap enam bulan (210 hari) menurut perhitungan kalender Bali atau 7 bulan Masehi (Wicaksana, 2007).
Lakon Dewa Kala mendapat kedudukan yang istimewa dalam kehidupan masyarakat Bali, karena lakon tersebut termasuk mitos yang diyakini dan dipercayainya. Lakon Dewa Kala dalam pertunjukan Wayang Sapuh Leger adalah jenis cerita yang mengandung pasemon filosofik dan berkaitan dengan hal-hal yang bersifat magis-religius. Dengan demikian, upacara Sapuh Leger dan wayang sudah merupakan panduan yang serasi antara materi dan sarana, antara isi dan wadah.
2.2 Genre Wayang Sapuh Leger dalam Wayang Kulit Bali
Keberadaan seni budaya, khususnya wayang yang berkembang di Bali masih merupakan persoalan sampai saat ini. Sulit ditentukan dengan pasti kapan adanya wayang di Bali, termasuk juga bagaimana bentuk pertunjukannya yang mula-mula, kemudian bagaimana proses perkembangan yang dialaminya sehingga terwujud seperti yang dapat kita saksikan sekarang ini. Hipotesis yang mengatakan bahwa fungsi wayang yang mula-mula adalah sebagai pemuja roh suci leluhur, ini dapat diterima. Hal tersebut bukan hanya berlaku untuk di Jawa saja, melainkan juga untuk daerah-daerah lainnya di Nusantara ini yang mengenal wayang (Adi, 2006). Penggunaan seorang medium (syaman) seperti balian, sadeg, pemangku (mangku), dalang dan pedanda, dalam usaha masyarakat Bali mengadakan kontak atau dialog dengan kekuatan supranatural, masih dapat kita buktikan sampai sekarang.
Menurut Adi (2006) terdapat beberapa prasasti yang ditemukan yang mengungkapkan bahwa, pertunjukan wayang kulit di Bali memiliki perjalanan hidup yang cukup panjang. Pada prasasti yang dikeluarkan oleh raja Ugrasena berangka tahun 818 Saka (896 Masehi), yang kini disimpan di Desa Bebetin (Singaraja), antara lain disebutkan:
“……pandé tambaga, pamukul, pagending, pabunjing, papadaha, parbhangsi, partapukan, parbwayang, panekan, dihyang api, tikasana, metani kasiddhan dudukyan hu”
(…..pandai tembaga, penabuh gamelan, juru kidung atau penyanyi, juru tabuh angklung bambu, pemukul kendang, peniup suling, penari topeng, permainan wayang).
Prasasti di atas menyebutkan beberapa kelompok orang yang menggambarkan profesi tertentu, termasuk orang yang mempertunjukkan wayang atau disebut dalang.
Menurut Hobart dalam Yudabakti (2007), wayang kulit Bali muncul dalam masa pemerintahan Majapahit (abad XIII sampai XV). Pada masa kerajaan Gelgel dengan rajanya Dalem Watu Renggong (1460-1550 Masehi), pernah mendapat hadiah satu gedog (kotak) wayang kulit dari raja Majapahit sekitar abad XV Masehi. Di mana bentuk-bentuk wayang itu tidak berbeda dengan bentuk wayang kulit Bali yang sekarang ini, yaitu sama dengan bentuk relief wayang yang terdapat pada Pura Taman Sari (Kabupaten Klungkung), yang berasal kira-kira pada abad XVI/XVII Masehi. Kalau dugaan ini benar, maka diperkirakan antara abad X sampai XIV wayang kulit beralih dari Jawa ke Bali. Hal ini memungkinkan karena pengaruh Hindu Jawa di Bali sangat pesat dengan ditandai serangkaian penaklukan, ketika Bali ditaklukkan oleh Majapahit pada tahun 1343 Masehi sebagai manifestasi sumpah Gajah Mada. Setelah keruntuhan kerajaan Majapahit di Jawa Timur, para ilmuan, pendeta, dan bangsawan melarikan diri ke Bali untuk mengungsi serta membawa pula naskah-naskah sastra klasik. Pada waktu antara dua masa tersebut, wayang kulit, wayang orang (wayang wong), dan topeng dikenal di Bali.
Naskah lontar Siwagama dan Tantu Pagelaran, cukup jelas menyebutkan adanya pertunjukan wayang lengkap dengan aparatusnya. Walaupun secara eksplisit disebutkan asal mula pertunjukan wayang ada di Jawa (Yawa Mandala), namun secara inplisit, mendekati bentuk pertunjukan wayang kulit di Bali. Hal ini ditandai dengan digelarnya wayang kulit di tempat khusus (Bale Gede), dalang dibantu oleh dua orang kanan dan kiri disebut katengkong (tututan), serta menggunakan iringan atau gamelan gender. Ketiga dewa (Bhatara Iswara, Brahma, dan Wisnu) sampai sekarang diyakini membantu seorang dalang menyukseskan pertunjukan wayang, hal ini jelas sekali tercantum dalam Dharma Pewayangan.
Sugriwa dalam Wicaksana (2007), salah seorang tokoh budayawan Bali menyebutkan hal yang berbeda mengenai asal mula wayang. Beliau menyebutkan bahwa, asal-usul wayang bermula dari Pratima (Pralingga atau Arca Lingga), yaitu suatu perwujudan yang menyerupai manusia kecil (Antropomorphi) yang terbuat dari kayu, batu atau logam yang disimpan pada tempat suci bernama pura (sanggar atau sanggah). Oleh karena pratima dikeramatkan, supaya diketahui oleh umum, maka dibuatlah tiruan yang dinamakan parba. Kalau diamati dari segi bentuknya ada dua macam parba, yakni: parba ukir (relief) yang dipahat pada dinding bangunan pura; parba tetulisan yaitu gambar lukisan pada tebing bale pahyasan. Dalam parba tergambar riwayat hidup leluhurnya dengan tema kepahlawanan dalam perjuangan hidup yang berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lainnya. Mengingat parba hanya terdapat dalam tempat suci saja, untuk melihatnya sangat terbatas waktunya dan hanya pada satu keluarganya saja. Oleh karena itu, parba dibuat pada sebidang kayu atau kulit sapi yang ditata atau diukir dan diberi warna sehingga tampak indah, dinamakan Wayang Beber. Semua sistem pelukisan tersebut di atas, diwarisi sampai sekarang di Bali, yang masih menganut paham animisme dan dinamisme. Kebudayaan Hindu telah masuk ke Indonesia dengan membawa kitab epos Ramayana dan Mahabharata serta merta menghiasi riwayat roh suci leluhur kita. Sugriwa dalam Wicaksana (2007) mendasarkan pandangannya demikian, karena penyembahan kepada leluhur merupakan satu ciri kebudayaan asli penduduk nusantara. Hal ini sampai sekarang masih dapat dilihat pada berbagai suku termasuk suku Bali. Agar mereka yang masih hidup dapat mengarahkan cinta baktinya lebih memusat, sehingga dibuatlah perwujudan berupa patung disebut Pratima; Lingga atau Pralingga.
Upacara-upacara keagamaan di Bali, sangat memerlukan jenis-jenis kesenian untuk menopang pelaksanaan berbagai macam bentuk upacara, seperti: seni rupa (ukiran dan lukisan di pura), seni tari, seni musik (karawitan) dan termasuk seni pewayangan.
Wayang Sapuh Leger dalam prakteknya ternyata tidak sebagai pengiring upacara, akan tetapi merupakan bagian dari upacara itu sendiri. Sebagai bagian (keharusan) dari keseluruhan upacara, Wayang Sapuh Leger termasuk seni wali (sacred relegious) yaitu berfungsi sebagai pelaksana dalam hubungannya dengan upacara agama. Atas dasar kenyataan tersebut dalam Wicaksana (2007) pertunjukan wayang dapat digolongkan menjadi 3 macam yakni: (1) wayang wali, yaitu wayang yang berfungsi sebagai bagian dari keseluruhaan upacara yang dilaksanakan. Termasuk golongan wayang ini ialah Wayang Sapuh Leger ; (2) wayang bebali, pertunjukan wayang sebagi pengiring upacara di pura atau dalam rangkaian upacara Panca Yajna. Termasuk golongan ini ialah Wayang Lemah dan Wayang Sudamala ; (3) wayang balih-balihan, pertunjukan wayang untuk tontonan umum yang fungsinya di luar wali dan bebali dengan menitikberatkan fungsi seni dan hiburannya.
2.3 Latar Belakang Pertunjukan Wayang Sapuh Leger
Menurut Wicaksana (2007) ada sebuah fenomena menarik di Bali berkenaan tentang kelahiran anak pada hari yang dianggap keramat yaitu pada wuku wayang atau tumpek wayang. Fenomena tersebut diyakini oleh orang Bali bahwa yang dilahirkan pada hari tersebut patutlah diupacarai lukatan (pembersihan) besar yang disebut Sapuh Leger. Bagi anak yang diupacarai lahir bertepatan dengan waktu itu dimaksudkan supaya ia terhindar dari gangguan (buruan) Dewa Kala.
(Wicaksana, 2007) menurut lontar Sapuh Leger dan Dewa Kala, Bhatara Siwa memberi izin kepada Dewa Kala untuk memangsa anak atau orang yang dilahirkan pada wuku wayang. Atas dasar isi lontar tersebut, apabila di antara anaknya ada yang dilahirkan pada wuku wayang, demi keselamatan anaknya itu, sameton Bali berusaha mengupacarainya dengan ruwatan Wayang Sapuh Leger .
Anonim (2009) menurut sistem perhitungan wuku, satu siklus lamanya 210 hari, karena tiap wuku lamanya 7 hari (Saptawara) dikalikan banyaknya wuku yang berjumlah 30 jenis. Satu bulan wuku lamanya 35 hari, dan setiap akhir bulan wuku itu disebut tumpek. Tiap anak yang lahir pada wuku wayang, terutama pada saniscara kliwon wuku wayang akan diadakan upacara Wayang Sapuh Leger. Kedudukan hari-hari tersebut secara spasial sangat sakral karena merupakan rentetan terakhir dari tumpek yang menurut anggapan orang Bali adalah angker dan berbahaya, karena hari itu dikuasai oleh butha dan kala. Secara mitologis wuku wayang dianggap sebagai salah satu wuku yang tercemar atau kotor, karena pada waktu inilah lahirnya seorang raksasa bernama Dewa Kala sebagai akibat pertemuan (sex relation) yang tidak wajar antara Bhatara Siwa dan istrinya, Dewi Uma. Mereka melakukan tidak pada tempatnya yang disebut kama salah.
Dari karakteristik hari-hari tersebut, masyarakat Bali percaya bahwa setiap anak yang lahir pada wuku wayang harus mendapatkan penyucian yang khusus dengan upacara Sapuh Leger serta menggelar wayang. Pertunjukan wayang kulit yang ada sampai saat ini kenyataannya tidak dapat dilepaskan dengan upacara ritual dengan cerita mitologi. Hal ini dikisahkan karena isinya dianggap bertuah dan berguna bagi kehidupan lahir dan batin yang dipercayai serta dijunjung tinggi oleh pendukungnya.
Yudabakti, (2007) hipotesis yang menguatkan tentang latar belakang upacara nyapuh leger dengan media wayang kulit pada tumpek wayang adalah data sastra dalam naskah lontar. Salah satunya lontar Kala Purana berbunyi: '... Muwah binuru sang Pancakumara; katekang ratri masa ning tengah wengi. Hana dalang angwayang, nemoning Tumpek Wayang, sang anama Mpu Leger. Sampun angrepakena wayang, saha juru redep/ gender/nya, wus pada tinabeh, merdu swaranya, manis arum....'. Artinya, setelah sang Rare Kumara dikejar oleh Dewa Kala sampai menjelang tengah malam ada seorang dalang bernama Mpu Leger mempertunjukkan wayang pada waktu tumpek wayang. Setelah menghadap di depan kelir segera juru gender membunyikan gamelannya, suaranya merdu dan nyaring.
Tumpek Wayang dan drama ritual wayang diamati dari aspek filosofinya, berorientasi temporal, spasial dan spiritual. Secara temporal pertunjukan Wayang Sapuh Leger diselenggarakan pada saat-saat tertentu yaitu pada tumpek wayang, sehingga mitologi Sapuh Leger mengharuskan masyarakat Hindu di Bali percaya bahwa dilarang bepergian pada tengai tepet (tengah hari), sandyakala (sore hari), dan tengah lemeng (tengah malam). Oleh karena diyakini waktu-waktu tersebut adalah waktu transisi yang sering mengancam keamanan seseorang saat melakukan perjalanan.
2.4 Mitologi Wayang Sapuh Leger
(Supartha, 2008) apabila orang yang lahir pada wuku wayang belum diupacarai pertunjukkan Wayang Sapuh Leger, maka ia akan disakiti oleh kekuatan negatif Bhatara Kala selama hidupnya. Oleh karenanya sebagai bahan pertimbangan bagi umat Hindu yang lahir pada wuku wayang, di bawah akan dicuplikkan sebuah cerita sapuh leger yang berguna sebagai pegangan dalam menyikapi keunikan nilai yang terkandung dalam cerita itu. Sehingga nantinya dapat dipakai sebagai bahan acuan di kala mengambil upacara Wayang Sapuh Leger. Terutama bagi anak yang lahir pada ¬wuku atau hari tumpek wayang.
Tersebutlah Dewa Siwa dan Dewi Uma sedang bersedih, meratapi putranya yang bungsu yaitu Sang Hyang Rare Kumara yang lahir tepat pada dina salah wadi atau tumpek wayang. Kelahirannya menyamai Hyang Kala (kakak kandungnya). Yang menjadi pemasalahan bagi Sang Hyang Siwa adalah karena beliau terlanjur merestui Hyang Kala untuk memangsa orang yang lahir menyamai kelahiran Hyang Kala yang bertepatan pada wuku salah wadi atau tumpek wayang. Hal tersebut lama telah ditunda-tunda oleh Dewa Siwa, oleh karena sayangnya beliau pada Sang Rare Kumara yang masih terbilang kecil (belum tanggal gigi). Karena terlalu lama Hyang Kala menunggu, maka ia memaksa Sang Hyang Siwa untuk menyerahkan Sang Rare Kumara untuk dimangsa mengingat ia lahir pada dina salah wadi (tumpek wayang).
Akhirnya dengan perasaan yang amat gundah Dewa Siwa mengabulkan permohonan Hyang Adi Kala untuk memangsa Hyang Rare Kumara. Sebelum pembunuhan terjadi terlebih dahulu Hyang Siwa telah mengutuk Hyang Rare Kumara supaya tetap anak-anak (Rare) atau tidak pernah dewasa. Serta disuruhlah ia pergi dan bersembunyi atau minta pertolongan kepada Prabhu Kerta Negara yang sangat sakti (wisesa). Tak berselang waktu yang lama, pergilah segera Sang Rare Kumara dengan tangis tak henti-hentinya sepanjang perjalanan menuju Negeri Prabhu Kerta Negara pada pagi buta. Didengar Sang Kumara pergi secara tiba-tiba, maka segeralah Hyang Kala mengejar sedapat mungkin melintasi desa-desa, hutan, gunung, dan sawah- sawah yang terhampar sangat luas. Dari kejauhan diciumlah bau Sang Kumara berada pada tumpukan sampah, dan ketika itu pula Hyang Kala mengobrak-abrik gundukan sampah sehingga berserakan tak tentu arah. Mengetahui kekacauan itu disebabkan oleh Hyang Kala maka segera Hyang Rare Kumara lari dengan segera menghindari kejaran kakaknya. Hyang Kala sangat marah dan mengutuk “ barang siapa yang menumpuk sampah menggunung dan lama-lama maka ia akan katadah (dimakan) Kala.” Hyang kala berjalan terengah-engah sambil memikirkan upaya atau tipu muslihat. Pada waktu tertentu sampailah Hyang Kala pada sebuah desa yang sedang sibuk mengadakan upacara pengabenan, di sana Hyang Kala melihat Sang Kumara sedang bersembunyi pada potongan bambu yang disisakan oleh undagi bade (seniman pembuat bade). Ketika hendak ditangkap, Sang Kumara secepat kilat lari melalui lubang bambu yang sebelahnya. Kejadian itu membuat Hyang Kala sangat murka, seraya mengutuk undagi bade tersebut “apabila kelak memotong bambu tidak menyisakan bukunya (berlubang tembus) maka akan ditadah (dimakan) Kala.” Selanjutnya lagi Hyang Kala lari memburu Hyang Kumara, tanpa disangka ia dilihat bersembunyi pada tungku api (bungut pawon) orang yang habis memasak tidak membiarkan priuknya tetap di tengah-tengah tungku api. Sehingga Sang Kumara yang akan ditangkap dengan mudah lari menghindari tangkapan Hyang Kala. Akhirnya Sang Kumara segera mendatangi Prabhu Kerta Negara seraya minta tolong agar dilindungi dari kejaran Hyang Kala. Hal tersebut disanggupi oleh Prabhu Kerta Negara, dan sebagai baktinya pada Hyang Siwa ia mengerahkan semua kekuatan dan kesaktiannya untuk melindungi Sang Hyang Rare Kumara, dari intaian Hyang Kala.
Setelah Hyang Kala datang pada Prabhu Kerta Negara untuk mencari Hyang Kumara, yang disembunyikannya. Maka mau tak mau harus berhadapan dengan Hyang Kala, karena dianggap berani pada kekuasaannya. Tentu saja karena baktinya kepada Dewa Siwa, Sang Kerta Negara tidak menyerah begitu saja. Maka tak lama kemudian terjadilah perang tanding antara Hyang kala dengan Prabhu Kerta Negara. Kedua pendekar itu bertengkar dengan sengitnya saling pukul dengan senjata pedang. Namun naas menimpa sang Prabhu Kerta Negara, karena ia berhasil disibak dadanya oleh Hyang Kala hingga tewas.
Melihat kekalahan Sang Kerta Negara maka larilah Sang Kumara secepat-cepatnya tak tentu arah. Tanpa disadari dalam pelariannya, didengarlah suara pertunjukkan wayang kulit yang sangat merdu. Maka diputuskanlah ia menonton pertunjukkan wayang. Setelah dilihat sampai di sana ternyata Dalang Samerana sedang ngewayang untuk orang yang lahir pada dina salah wadi (tumpek wayang). Lalu Sang Kumara bersembunyi pada pelawah gender yang sedang pentas. Tentu saja atas izin Dalang Samerana. Bersamaan dengan persembunyian Sang Kumara, kemudian datanglah Hyang Kala pada pertunjukkan tersebut dengan terengah-engah dan rasa lapar yang tak tertahankan. Kemudian seraya memakan upakara atau banten wayang Sang Mangku Dalang Samerana sampai habis. Melihat banten wayangnya habis dimakan oleh Hyang Kala, maka Dalang Samerana mengakhiri pentasnya, dan bertanya pada Hyang Kala. Dengan bertanya: kenapa banten hamba Paduka Bhatara habiskan, tanpa pemberitahuan sebelumnya. Dan hamba harap Tuanku sudi kiranya mengembalikan banten Hamba! Mendengar permintaan Sang Dalang itu, maka Hyang Kala bingung karena tidak bisa membuat banten. Serta meminta pada Dalang Samerana untuk memaafkan perilakunya yang tanpa etika. Dalam perdebatan itu ada permintaan Sang Dalang pada Hyang Kala, yaitu agar Hyang Kala berhenti mengejar dan memangsa Hyang Kumara yang tanpa dosa itu. Mendengar permintaan Dalang Samerana tersebut, maka Hyang Kala menyanggupi bahkan tidak berani mengganggu orang yang telah diruwat dengan tirta dalam pertunjukan Wayang Sapuh Leger. Tidak itu saja janji Hyang Kala, beliau bersanggup agar Dalang Samerana beserta keturunannya kelak mendapatkan kesucian lahir batin, serta diberikan kewenangan untuk meruwat atau menyucikan oleh yang kemalaan.
Demikian seklumit mitologi Wayang Sapuh Leger, sehingga sampai saat ini diyakini oleh masyarakat Jawa dan Bali membawa suatu berkah kesucian utama bagi orang yang lahir bertepatan dengan wuku salah wadi atau tumpek wayang (Yudabakti, 2007).
2.5 Penokohan atau Karakterisasi Wayang Sapuh Leger
Penokohan yang dimaksud di sini adalah proses penampilan tokoh sebagai pembawa peran watak dalam suatu pementasan lakon. Dalam lakon mitos Dewa Kala tampaknya tokoh-tokoh cerita berdiri pada dua sisi yang berbeda atau berlawanan. Di satu pihak tokoh cerita sebagai “dewa” atau “bhatara” (tokoh kahyangan) yang memiliki kekuatan dasyat yang tidak mungkin dilakukan oleh manusia (tokoh dunia), di pihak lain tokoh cerita juga berdiri sebagai tokoh manusia biasa yang bisa kesal dan marah serta melakukan kesalahan-kesalahan. Kedua hal tersebut bisa terjadi atau dapat dimengerti karena teknik ini memiliki fungsinya sendiri-sendiri.
Menurut Wicaksana (2007), dalam pewayangan Bali karakter Kala merupakan tokoh protagonis dengan penampilan fisiknya tinggi dan besar dengan raut muka yang seram, bertaring, dan rambut lebat bergumpal. Suaranya keras dan mengaum bergelegar dengan tindakannya yang ingin memangsa apa saja yang ada di depannya (karakter keraksasaan). Karakter Kala seperti tersebut di atas, sesuai dengan uraian yang tercantum dalam lontar Japa Kala, wajah Dewa Kala dilukiskan seperti: “….Ametu Sang Adi Kala saking manik sphatika, arawe-rawe kabhinawa rupa ning Kalametu, mangang tutuknya. Kumedal ing netranya, gembrang-gembrungan rambutnya, tutul awaknya. Pangkas pangadegnya, swaranya angaruwung kadi gelap tanpa sangkan…..” (…..muncul Sang Adi Kala dari sperma yang beku, rupanya dasyat bagaikan Kalametu, taringnya tajam, matanya bersinar, rambutnya bergumpal tak karuan, kulitnya bertutul, badannya tegar, suaranya gemuruh, bagaikan kegelapan tak terkecuali).
Siwa sebagai Dewa tertinggi dari sembilan dewata (dewata nawa sanga) adalah nama yang sudah sangat dikenal dengan sifat fungsionalnya yang sudah diakui dan diyakini oleh masyarakat Bali. Dalam kaitan dengan sastra lakon sesungguhnya Siwa termasuk tokoh protagonis yang mengakibatkan semua itu terjadi. Lahirnya Kala akibat dari pertemuan (sex relation) tidak wajar dengan Bhatari Uma yang tidak pada tempatnya (kama salah). Sisi lain Dewa Siwa sebagai tokoh trigonis, berusaha menengahi dan melerai pada saat Kala mau memakan adiknya Kumara. Dalam Geguritan Sapuh Leger pada bait 2, berbunyi: “……Hyang Guru lingnyaris: anakku, lan sira Hyang Kala, yayah tan hana panjang, anging antekena yeki, dening ya kari lare ya…..” (…..Hyang Guru bersabda: anakku Hyang Kala, ayah tidak berpanjang kata, sebaiknya tunggu dulu, oleh karena ia (Kumara) masih kecil ).
Tokoh antagonis dalam cerita ini adalah Raja Maya Sura (naskah Kala Purana) dan Raja Arjuna Sahasrabahu (Lelempahan Wayang Sapuh Leger). Rare Kumara atau Rare Brata juga termasuk tokoh antagonis. Walaupun ia tidak berperang melawan Kala, tetapi kehadirannya menyebabkan timbulnya pertikaian (konflik), seperti tercantum dalam bait 3, berbunyi: “….Ida Betara Kala/ tan sipi dukaneki, ring sam’tone Hyang Kumara, bane pada wetoneki, katunas ring Ida Aji, dosane sampun katur, ring Ida Hyang Kala….” (….Bhatara Kala tak terkira marahnya dengan saudaranya Hyang Kumara karena sama hari kelahirannya, kemudian mohon kepada ayahnya (Siwa) dan diizinkan untuk santapan Hyang Kala).
Dalam mitos ini, dalang Samirana juga termasuk dalam cerita. Kehadiran tokoh “dalang” ternyata mempunyai peran yang unik, atau multitokoh. Dalang Samirana dikatakan berperan sebagai tokoh antagonis karena ia menghalangi niat Dewa Kala untuk memangsa Rare Kumara dengan alasan kuat bahwa Kala terlebih dahulu memakan sesajen yang dipersiapkan untuk wayang. Sebagai tokoh tritagonis, dalang berusaha meleraikan konflik antara Kala dengan Kumara yang berakhir batalnya Kumara jadi mangsanya. Sebagai peran pembantu, dalang secara tidak langsung terlibat dalam konflik tersebut. Namun untuk menyelesaikan cerita ini, dalang mengambil bagian yang sangat penting yaitu berkat perintah (sabda) Dewa Kala ia diberikan wewenang untuk meruat anak yang lahir pada wuku wayang, dalang sekaligus berperan sebagai tokoh protagonis.
Konflik dalam lakon Sapuh Leger sesungguhnya bukanlah suatu konflik yang berkembang antar feeling, melainkan sebagai konflik dari suasana-suasana spiritual. Lakon ini berbicara tentang konsep kosmologi yaitu simbolisme peristiwa dalam jagad kecil (mikrokosmos), “pergulatan rohani” yakni pertentangan batin dalam kalbu manusia yang paling dalam antara kebaikan dan kejahatan, antara kekuatan putih (mistical) dan kekuatan hitam (magical), yang berakhir dengan kemenangan pada kekuatan putih.
2.6 Tema dan Amanat Wayang Sapuh Leger
Naskah lakon diciptakan atau dibuat bukanlah semata-mata mencipta saja, tetapi pasti tersirat dalam hal yang tersurat yaitu pesan, amanat, pesan yang ditujukan kepada masyarakat, kepada bangsa, bahkan kepada seluruh manusia dan kemanusiaan. Isi lakon menciptakan sesuatu untuk menyuguhkan persoalan kehidupan manusia baik lahiriah maupun batiniah, yakni pikiran (cita), perasaan (rasa), dan kehendak (karsa). Pengalaman dramatik yang lahir dari kehidupan, pada suatu saat merangsang dan menggetarkan jiwa pengarang atau penciptanya. Dari pengalaman tersebut diangkatlah suatu ide, gagasan atau persoalan pokok yang menjadi dasar sebuah tema. Jadi, tema adalah gagasan, ide, atau pikiran di dalam karya sastra yang terungkap ataupun tidak, sedangkan amanat adalah pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada publiknya. Dalam lakon Dewa Kala (Sapuh Leger) yang terdapat di Bali termasuk juga dalam karya sastra, oleh Hinzler dalam Wicaksana (2007) dikatakan memiliki tema pengorbanan dan pembebasan. Hal senada juga dikatakan oleh Ngurah Bagus dalam Wicaksana (2010) bahwa tema dari lakon Wayang Sapuh Leger dalam konteks upacara adalah penyucian. Tema pengorbanan terungkap saat Kala memakan Rare Kumara, ala memakan orang lewat tengah hari (kali tepet), sore hari (sandya kala), malam hari (kala wengi), dan pada wuku wayang. Tema pembebasan terungkap saat Rare Kumara dibebaskan oleh dalang, bebas dari makanan Kala karena lewat tengah hari. Teknik penyampaian pesan yang terdapat dalam lakon Sapuh Leger disampaikan baik langsung maupun tidak langsung atau secara simbolis (pralambang).
Dalam konteks kehidupan budaya tradisi Bali, sang Brata atau Sang Hyang Panca Kumara menyelinap pada timbunan sampah, tersirat amanat jika kita menyapu hendaknya tidak menimbun sampah, sebaiknya langsung dibuang atau dibakar sebab bisa berserakan atau menyebarkan penyakit. Bambu tanpa buku pada ujungnya bila bertebaran dapat menggelincirkan orang, atau pula terpijak kaki telanjang bisa pecah dan ketajaman pecahan bambu sangat berbahaya. Rare Brata masuk ke tungku perapian tersirat pesan kebakaran, hati-hati bila salah satu lubang tungku tidak ditutupi, maka api akan mudah naik dan membakar seluruh dapur termasuk seisi rumah. Dalam konteks waktu, cerita ini mengandung amanat agar kita dalam segala tindakan jangan sampai melanggar tata susila dan belajar menghargai waktu. Karenanya baik di dunia barat maupun di dunia timur, kala (waktu) memang memiliki arti yang sangat penting di dalam kehidupan manusia.






BAB III
METODE PENULISAN
3.1 Prosedur Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data dan informasi terkait dengan penulisan karya tulis ini, penulis menggunakan beberapa prosedur dan langkah kerja. Data dan informasi yang penulis peroleh berasal dari berbagai sumber. Berupa fakta yang diperoleh melalui situs internet dan wawancara langsung dengan narasumber yaitu salah satu mahasiswa jurusan Pendidikan Seni Rupa Universitas Pendidikan Ganesha dan juga salah seorang dalang (Sang Mpu Leger). Penelusuran data melalui buku dan referensi mengenai Wayang Sapuh Leger juga penulis lakukan.

3.2 Pengolahan Data dan Informasi
Data yang sudah diseleksi menjadi acuan utama di dalam penulisan karya tulis ini. Data dan informasi itu kemudian diolah. Prosedur pertama adalah menulis latar belakang tentang alasan mengangkat fungsi Wayang Sapuh Leger sebagai pengukuhan ritual keagamaan dan institusi sosial serta pendidikan budi pekerti dalam masyarakat Bali sebagai topik dalam karya tulis ini, penjelasan tentang makna penting serta menariknya topik ini untuk ditelaah. Ke dua, menguraikan secara singkat mengenai gagasan kreatif yang ingin disampaikan, menulis tujuan dan manfaat yang ingin dicapai melalui penulisan. Ke tiga, membuat kajian pustaka. Dalam hal ini berkaitan dengan data yang diperoleh melalui buku dan merupakan teori atau fakta yang sudah dibuktikan kebenarannya. Ke empat, menguraikan tentang metode penulisan. Dari pengumpulan data dan informasi, prosedur pengolahan data, mengambil simpulan serta merumuskan saran atau rekomendasi.





3.3 Mengambil Simpulan dan Merumuskan Saran atau Rekomendasi
Setelah proses analisis, dilakukan proses sintesis dengan menarik simpulan dengan menghubungkan rumusan masalah, tujuan penulisan serta pembahasan yang dilakukan. Berikutnya ditarik satu simpulan yang bersifat umum. Berdasarkan simpulan tersebut, direkomendasikan beberapa hal sebagai upaya transfer gagasan.


























BAB IV
ANALISIS DAN SINTESIS
4.1 Analisis
Wayang Sapuh Leger merupakan salah satu upacara ritual keagamaan di Bali, yang diselenggarakan sebagai salah satu upacara penyucian atau ruwatan. Masyarakat Bali meyakini bahwa anak yang dilahirkan pada wuku atau tumpek wayang hendaknya diupacarai Wayang Sapuh Leger, karena jika tidak anak tersebut akan membawa malapetaka dalam hidupnya. Keyakinan tersebut kian mengikis seiring dengan berkembangnya zaman dan masuknya pengaruh budaya asing. Padahal, dalam kenyataannya sering dijumpai anak yang lahir pada wuku atau tumpek wayang yang tidak diupacarai Wayang Sapuh Leger dilanda permasalahan dalam hidupnya seperti menderita suatu penyakit ataupun mengalami stress mental yang tidak dapat disembuhkan secara medis. Tak hanya itu saja, masuknya pengaruh budaya asing di Bali juga berpengaruh terhadap moral dan etika remaja Bali serta sifat solidaritas masyarakat Bali dalam pengukuhan ritual keagamaan. Contohnya adalah beredarnya video porno yang dibuat oleh remaja SMA khususnya di Bali. Selain itu, sifat gotong royong masyarakat Bali dalam penyelenggaraan ritual keagamaan, kini sudah sangat jarang terlihat. Meskipun pemerintah telah mengupayakan berbagai cara untuk mengembalikan budaya masyarakat Bali serta moral dan etika remaja yang semakin menyusut tersebut, namun sampai saat ini belum mampu memberikan hasil yang sesuai dengan harapan. Karena itu diperlukan suatu upaya, untuk mengembalikan keajegan serta moral dan etika yang baik dari masyarakat Bali.
Sejak dahulu Bali dikenal sebagai Pulau Dewata yang memiliki berbagai kesenian. Menurut Sidja (2010), fungsi kesenian bagi kehidupan masyarakat Bali salah satunya adalah sebagai alat komunikasi untuk memperkuat keyakinan, nilai-nilai, serta norma-norma yang hidup dalam masyarakat. Selanjutnya, kesenian itu secara universal dikaitkan pertama dan utama dengan religi, karena dalam religi tertanam berbagai nilai dan norma yang membawa masyarakat ke suatu kemungkinan untuk berkomunikasi dengan hakikat tertinggi secara lebih tenang dan tepat. Soedarsono dalam Yudabakti (2007), seorang pakar seni pertunjukan tari, musik, dan teater terdapat tiga fungsi utama kesenian, khususnya seni pertunjukan, yaitu: sarana upacara atau ritual, hiburan pribadi, dan penyajian estetis. Bandem dalam Yudabakti (2007) juga mengamati fungsi kesenian khususnya wayang kulit yang diyakini oleh orang Bali memiliki arti dan makna sebagai : (1) penggugah rasa indah dan kesenangan; (2) pemberi hiburan sehat; (3) media komunikasi; (4) persembahan simbolis; (5) penyelenggaraan keserasian norma-norma masyarakat; (6) pengukuhan institusi sosial dan upacara keagamaan; (7) kontribusi terhadap kelangsungan dan stabilitas kebudayaan; dan (8) pencipta integritas masyarakat.
Mengacu pendapat kedua pakar tersebut di atas, penulis mencoba merumuskannya dengan mengamati sifat-sifat dan fungsi Wayang Sapuh Leger sebagai warisan budaya Bali, antara lain: pengukuhan atau pengesahan ritual keagamaan dan institusi sosial serta pendidikan budi pekerti.
4.2 Sintesis
4.1.1 Peranan Wayang Sapuh Leger Sebagai Pengukuhan Ritual Keagamaan dalam Masyarakat Bali
Brown dalam Yudabakti (2007) mengatakan bahwa seni sebagai fungsi sosial adalah efek dari suatu keyakinan adat, atau pranata kepada solidaritas sosial dalam masyarakat, yang kemudian tatanan itu dianalogikan dengan struktur organisme. Dari pernyataan tersebut, bahwa penyelenggaraan Wayang Sapuh Leger merupakan aktivitas artistik dengan sentuhan estetik sebagai efek keyakinan adat untuk pengukuhan institusi sosial yang berkaitan dengan ritual keagamaan.
Agama Hindu dalam menjalankan praktik keagamaannya mengenal lima macam upacara yang disebut Panca Yajna, yang terdiri dari DewaYajna, Pitra Yajna, Rsi Yajna, Manusa Yajna, dan Bhuta Yajna. Pementasan Wayang Sapuh Leger sebagai ritual keagamaan, berfungsi untuk Manusa Yajna, yang berhubungan dengan kelahiran anak, khususnya yang jatuh pada hari atau wuku wayang dalam sistem pawukon kalender Bali. Kekhususan drama ritual ini merupakan pengukuhan atau pengesahan salah satu dari lima bentuk upacara keagamaan di Bali, sehingga tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya. Roberton dalam Anonim (2005), mengetengahkan teori asas-asas religi dalam bukunya yang berjudul Lectures on Religion of The Semites (1889) menyebutkan bahwa ada tiga gagasan menganai asas-asas religi tentang upacara bersaji.
a) Sistem upacara merupakan suatu perwujudan dari religi, di samping sistem keyakinan dan doktrin;
b) Upacara religi atau agama dialksanakan oleh banyak warga pemeluk religi bersangkutan, yang mempunyai fungsi sosial untuk mengintesifkan solidaritas masyarakatnya; dan
c) Fungsi upacara bersaji pada pokoknya, di mana manusia menyajikan sebagian dari seekor binatang sebagai persembahan, untuk mendorong rasa solidaritas dengan dewa atau para dewa.
Secara eksplisit pertunjukkan Wayang Sapuh Leger ini hanya berfungsi untuk upacara dalam siklus kehidupan manusia (Manusia Yajna), namun secara inplisit tersirat di dalam keseluruhan drama ritual ini kelima unsur upacara (Panca Yajna) itu. Di dalamnya akan nampak persembahan sesajen atau banten (suci a soroh, ajuman putih kuning) dihaturkan ke hadapan Dewa Siwa Raditya di tempat suci sanggah tutuan yang ditancapkan di depan kelir (layar) menghadap ke barat (kauh). Hal ini dimaksudkan sebagai bentuk pengorbanan tulus ikhlas Ke hadapan Hyang Widhi (Dewa Yajna) sebagai saksi atas terselenggaranya ritual keagamaan yang diwujudkan sebagai Dewa Matahari (Ciwa Raditya). Kemudian di bawah sanggah tutuan, di atas tanah di gelar sesajen atau banten (tatebasan tadah kala), dipersembahkan kepada Bhuta Kala (Bhuta Yajna) agar jangan mengganggu kegiatan ritual itu. Sesaji (suci, ajuman, peras, daksina gede) dihaturkan ke hadapan roh-roh leluhur (Pitra Yajna) yang diwakili oleh wayang dan perangkatnya. Hal ini membuktikan bahwa secara historis, wayang mula-mula adalah suatu kegiatan ritual yang berhubungan dengan persembahan roh-roh suci leluhur yang disebut dengan “Hyang.” Dengan demikian seorang dalang dalam Penyacah Parwa menyebut Dewa Wayang sebagai Sang Hyang Ringgit (Sugriwa, 1963).
Demikian pula sesajen dengan jenis yang sama dipersembahkan kepada seorang dalang yang melaksanakan pertunjukan wayang sebagai personifikasi dari pendeta (Rsi Yajna). Sugriwa dalam Sidja (2009), mengatakan bahwa, posisis atau kedudukan dalang sejajar dengan Rsi Brahmana (pendeta). Pandangan Sugriwa didasarkan atas fungsi pendeta dan dalang sama-sama menyiapkan atau mengantarkan upacara keagamaan dan membuat air suci (toya panyudamalan dan toya panglukatan), karenanya di samping keterampilan memainkan wayang, dalang juga berpredikat Amangku Dalang (Sidja , 2009).
4.1.2 Peranan Wayang Sapuh Leger Sebagai Pengukuhan Institusi Sosial dalam Masyarakat Bali
Pertunjukan Wayang Sapuh Leger yang terikat dengan sistem upacara merupakan suatu perwujudan dari religi, di samping sistem keyakinan dan doktrin. Upacara religi atau agama dilaksanakan oleh banyak warga pemeluk religi yaitu, masyarakat Hindu di Bali, yang mempunyai sosial untuk mengintensifkan solidaritas masyarakatnya. Religi merupakan sumber yang memberikan interpretasi dunia secara total, karena religi adalah mitos yang mengaitkan masyarakat itu pada kondisinya yang terakhir dari eksistensinya (Wicaksana, 2007).
Agama mempunyai fungsi menstrukturkan karena ia dapat mensakralkan tertib manusiawi dengan menempatkannya dalam kerangka supraempiris yang disebut religius. Sebagai fungsi interpretasi, hal ini berarti bahwa: pertama, agama memberikan suatu nilai yang terakhir tempat moralitas masyarakat itu; ke dua, agama memberikan penjelasan mengenai situasi batas yang dihadapi oleh manusia di dalam kehidupannya, seperti kelahiran, perkawinan, atau kesengsaraan bahkan kematian. Sedangkan yang ke tiga, agama mendamaikan pengalaman-pengalaman yang bertentangan dalam kehidupan manusia seperti, kehidupan dan kematian, sementara dengan permanen, atau kebebesan dengan keharusan (Wicaksana, 2007).
Penyelenggaraan lukatan atau ruwatan sudah menjadi kebiasaan turun temurun dalam perilaku kehidupan sosial masyarakat Bali. Dengan peristiwa tetap (tiap-tiap 210 hari), kemudian tertuang dalam karya sastra dan karya seni (naskah lontar dan pertunjukan wayang) menjadi lengkap dalam aturan konvensional, sehingga menjadikan budaya lukatan atau ruwatan sebagai adat istiadat yang mapan.
4.1.3 Peranan Wayang Sapuh Leger Sebagai Pendidikan Budi Pekerti dalam Masyarakat Bali
Menurut Wicaksana (2007) masyarakat Bali cenderung setuju dengan pendapat bahwa wayang kulit memiliki tiga makna dalam kehidupan sosial budayanya, yaitu: wayang kulit bersifat mendidik, hiburan, dan agama. Jika mitos dihubungkan dengan teologi Hindu dengan teori emanasi seperti terlihat dalam lontar Tantu Pagelaran, maka Hyang Guru adalah imanasi Tuhan di dunia maya ini. Hal ini sesuai dengan teks lontar Kala Tatwa dan teks Pangalangkara pada pentas Wayang Sapuh Leger. Dengan demikian, Kala adalah penjelmaan Bhatara Guru dalam penampilan sebagai Kalarudra yang memiliki sifat angkara, bengis, dan tiran. Dengan kata lain, Bhatara Kala sebenarnya adalah aspek angkara yang ada pada diri manusia sendiri. Ia diizinkan memangsa manusia yang sedang dalam kondisi kacau, kotor, tidak suci, yaitu kondisi mental yang kalut. Dalam kondisi mental (seseorang) yang sedang kacau, atau kotor itulah sebenarnya Bhatara Kala berkuasa, yang pada gilirannya apabila seseorang dalam kondisi seperti itu berarti ia berpotensi untuk melakukan tindakan atau perbuatan yang jahat atau tidak baik. Konsepsi ini sesuai dengan pandangan orang Bali, bahwa sifat baik, buruk, bijak atau jahat itu hanya dapat berlaku dengan perantaraan mental dan perbuatan manusia.
Aspek angkara digambarkan amat kuasa dan kuat. Dalam mitos diwujudkan sebagai raksasa besar dan kuat berwujud Bhatara Kala yang tak tertandingi oleh para dewa. Ini memberi petunjuk bahwa kuasa keteraturan, kebaikan, kebijakan, atau aspek positif dari dewa sebenarnya selalu terancam oleh kuasa ketidakteraturan, kekacauan atau aspek negatif dalam diri manusia. Bhatara Guru dalam mitos digambarkan hanya dapat melemahkan Kala, tetapi tidak dapat melenyapkannya sama sekali karena Kala adalah aspek angkara atau negatif yang bersumber dari dirinya juga. Secara simbolis cara melemahkan potensi angkara atau aspek negatif dalam diri manusia diperagakan melalui pentas dengan membatasi waktu-waktu makannya (siang dan malam hari serta kelahiran pada tumpek wayang), ritual, dan mantram dilakukan oleh Bhatara Guru yang menjelma menjadi dalang dengan peragaan itu berarti bahwa kuasa keangkaramurkaan dilemahkan atau hanya dibuat lemah oleh aspek kesucian.
Keteraturan dan kesucian itu secara tepat dan rapi diperagakan dalam pentas Wayang Sapuh Leger dengan lakon Dewa Kala yang dilengkapi dengan aneka ragam sesajen yang secara simbolik mewakili anak yang diruwat dan secara total menyerahkan diri kepada Tuhan (Wicaksana, 2007). Upacara lukatan atau ruwatan dengan pementasan wayang sarat dengan nilai-nilai luhur yang di dalamnya terkandung nilai pendidikan, moral, etika, dan disampaikan secara simbolik metaforik. Penyampaian pesan-pesan secara simbolik dimaksudkan agar nilai-nilai yang diungkapkan dapat terpelihara kelestariannya, ini tentu akan sangat berbeda bila suatu pesan itu disampaikan sebagai informasi biasa. Sebagai contoh, lahirnya Bhatara Kala sebagai akibat tak terkendalinya nafsu birahi Bhatara Guru terhadap Dewi Uma ketika berada di atas punggung lembu Nandini. Cerita ini jelas mengandung nilai etika dan moral agar orang dalam segala tindakan dan perilaku tidak melanggar tata susila atau norma-norma yang berlaku. Pesan seperti ini tentu akan berbeda bila hanya disampaikan dalam bentuk perintah atau larangan dengan misalnya mengatakan “jangan berbuat cabul”, yang setelah terdengar beberapa saat orang dengan mudah akan melupakannya.
Upacara adat menjelaskan kepada kita melalui pesan-pesan simbolik bahwa dalam kehidupan itu berlaku hukum adikodrati yang bersifat mutlak dan langgeng (Amir, 1997). Barang siapa yang mematuhi hukum Illahi akan selamat hidupnya, atau sebaliknya orang akan tertimpa bencana dan malapetaka bila ia melanggarnya. Upacara ruwatan telah mengarungi perjalanan waktu yang cukup panjang itu merupakan ungkapan hasil pengalaman dan penghayatan hidup masyarakat Bali. Penghayatan itu merupakan hasil interaksi masyarakat terhadap lingkungan dunia sekitar. Kemudian dijadikan sarana pendidikan untuk menanamkan nilai-nilai kehidupan yang hakiki sebagai bekal hidup untuk mencapai ketentraman, keselamatan, kesejahteraan, dan kebahagiaan lahir maupun batin. Di samping itu, tradisi ruwatan ini juga berisi pesan-pesan agar sebagai manusia berbudaya kita harus bersikap bertanggung jawab untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia. Meningkatkan harkat dan martabat manusia dengan jalan memelihara hubungan dengan lingkungan dunia sekitar, membina kerukunan dalam hidup bermasyarakat dan menjalani kehidupan sesuai dengan hukum adi kodrati yang berlaku bagi setiap mahluk Tuhan. Usaha memelihara nilai-nilai yang disakralkan dalam kehidupan, baik yang menyangkut masalah hubungan suami-istri melalui institusi perkawianan, masalah hubungan antara sesama warga masyarakat dan dunia alam sekitar bertujuan agar manusia selalu bersikap dan berbuat hati-hati disertai rasa penuh tanggung jawab serta selalu dapat mengendalikan diri demi martabatnya, kebahagiaan, dan kesejahteraan. Dengan demikian, upacara lukatan atau ruwatan dengan pementasan Wayang Sapuh Leger merupakan legitimasi mitos dan aktualisasi konsep nilai-nilai yang bertujuan untuk pendidikan budi pekerti (Amir, 1997).
Nilai-nilai yang terdapat dalam pertunjukan Wayang Sapuh Leger sebagai ungkapan nilai budi pekerti, dapat kiranya dirangkum sesuai dengan latar belakang kepercayaan yang dianut masyarakat Bali, terdapat dalam kitab Manu Smerti, adalah sebagai berikut: (a) badan yang kotor harus dibersihkan dengan jalan mandi; (b) benda-benda yang kotor harus dibersihkan dengan air, api atau benda pencuci lainnya; (c) perkataan yang kotor harus diperbaiki dengan berkata-kata yang baik, kata-kata halus dan budi bahasa yang baik; dan (d) pikiran yang kotor dan tidak baik harus diperbaiki dan disucikan dengan membaca mantra dan kitab-kitab suci Weda.
BAB V
PENUTUP

5.1 Simpulan
Simpulan yang dapat diambil pada penulisan karya tulis ini yaitu:
5.1.1 Pementasan Wayang Sapuh Leger sebagai ritual keagamaan, berfungsi untuk Manusa Yajna, yang berhubungan dengan kelahiran anak, khususnya yang jatuh pada hari atau wuku wayang dalam sistem pawukon kalender Bali. Kekhususan drama ritual ini merupakan pengukuhan atau pengesahan salah satu dari lima bentuk upacara keagamaan di Bali, sehingga tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya. Secara eksplisit pertunjukkan Wayang Sapuh Leger ini hanya berfungsi untuk upacara dalam siklus kehidupan manusia (Manusia Yajna), namun secara inplisit tersirat di dalam keseluruhan drama ritual ini kelima unsur upacara (Panca Yajna) itu.
5.1.2 Pertunjukan Wayang Sapuh Leger yang terikat dengan sistem upacara merupakan suatu perwujudan dari religi atau agama. Sebagai fungsi interpretasi, hal ini berarti bahwa: pertama, agama memberikan suatu nilai yang terakhir tempat moralitas masyarakat itu; ke dua, agama memberikan penjelasan mengenai situasi batas yang dihadapi oleh manusia di dalam kehidupannya, seperti kelahiran, perkawinan, atau kesengsaraan bahkan kematian. Sedangkan yang ke tiga, agama mendamaikan pengalaman-pengalaman yang bertentangan dalam kehidupan manusia seperti, kehidupan dan kematian, sementara dengan permanen, atau kebebesan dengan keharusan.
5.1.3 Upacara adat khususnya pementasan Wayang Sapuh Leger menjelaskan kepada kita melalui pesan-pesan simbolik bahwa dalam kehidupan itu berlaku hukum adikodrati yang bersifat mutlak dan langgeng. Barang siapa yang mematuhi hukum Illahi akan selamat hidupnya, atau sebaliknya orang akan tertimpa bencana dan mala petaka bila ia melanggarnya. Sebagai contoh, lahirnya Bhatara Kala sebagai akibat tak terkendalinya nafsu birahi Bhatara Guru terhadap Dewi Uma ketika berada di atas punggung lembu Nandini. Cerita ini jelas mengandung nilai etika dan moral agar orang dalam segala tindakan dan perilaku tidak melanggar tata susila atau norma-norma yang berlaku.

5.2 Saran
Adapun saran yang dapat diajukan oleh penulis berkaitan dengan tema yang diangkat dalam penulisan kali ini yaitu hendaknya masyarakat Bali memahami nilai-nilai serta amanat yang terkandung dalam penyelenggaraan Wayang Sapuh Leger. Bagi anak yang lahir pada wuku wayang atau tumpek wayang hendaknya diruwat upacara Sapuh Leger agar terhindar dari malapetaka. Di balik pementasan Wayang Sapuh Leger yang termasuk ke dalam bagian dari upacara Manusa Yadnya. Jika kita kaji lebih dalam dari alur maupun ceritanya terdapat nilai-nilai yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam mengukuhkan ritual keagamaan serta institusi sosial dan pendidikan budi pekerti.

DAFTAR PUSTAKA

Adi, Ketut. 2006. "Tumpek Wayang " Bermakna Spasial, Temporal dan Spiritual. . [ 7 April 2010]
Admin. 2010. Tawuran Remaja. . [10 April 2010]
Amir, Hazim. 1997. Nilai-Nilai Etis dalam Wayang. Jakarta: Sinar Harapan.
Anonim. 2009. Catatan Wayang Nusantara (Indonesian Shadow Puppets). . [10 April 2010]
Putri, Ni Made. 2010. Kelahiran Pada Tumpek Wayang. . [ 8 April 2010]
Sidja, I Made. 2009. Wayang Sapuh Leger. . [6 April 2010]
Supartha, Wayan. Memaknai Hari Raya Tumpek Wayang. Tersedia pada http://belog-duweg.blogspot.com/ . Diakses pada tanggal 8 April 2010
Wicaksana, I Dewa Ketut. 2007.Wayang Sapuh Leger. Denpasar: Pustaka Bali Post.
Wicaksana, I Dewa Ketut. 2010. Pakeliran Layar Lebar: Kreativitas Wayang Berbasis Lokal Berwawasan Global. < http://blog.isi-dps.ac.id/dkwicaksana/pakeliran-layar-lebar-kreativitas-wayang-berbasis-lokal-berwawasan-global>. [ 8 April 2010]