Bisnis Mudah Daftar 100% Gratis Kerja Gambang Hasil Luar Biasa. Isi: Hai ada bisnis menarik dan luar biasa dasyat nih!! Di sini kita bisa Mendapatkan Rp. 277.777.778.500,- Lebih Dengan Modal 100% GRATIS!! 100% MUDAH, 100% BEBAS RESIKO! Kerjanya? Sangat mudah! Untuk info Lengkapnya Kunjungi : http://gajigratis.com/?ref=pastiada

Sabtu, 19 September 2009

Globalisasi

Pengaruh Globalisasi Terhadap Nilai-Nilai Nasionalisme
• Globalisasi adalah suatu proses tatanan masyarakat yang mendunia dan tidak mengenal batas wilayah.
• Globalisasi pada hakikatnya adalah suatu proses dari gagasan yang dimunculkan, kemudian ditawarkan untuk diikuti oleh bangsa lain yang akhirnya sampai pada suatu titik kesepakatan bersama dan menjadi pedoman bersama bagi bangsa- bangsa di seluruh dunia. (Menurut Edison A. Jamli dkk.Kewarganegaraan.2005)
Menurut pendapat Krsna (Pengaruh Globalisasi Terhadap Pluralisme Kebudayaan Manusia di Negara Berkembang.internet.public jurnal.september 2005). Sebagai proses, globalisasi berlangsung melalui dua dimensi dalam interaksi antar bangsa, yaitu dimensi ruang dan waktu. Ruang makin dipersempit dan waktu makin dipersingkat dalam interaksi dan komunikasi pada skala dunia. Globalisasi berlangsung di semua bidang kehidupan seperti bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan dan lain- lain. Teknologi informasi dan komunikasi adalah faktor pendukung utama dalam globalisasi. Dewasa ini, perkembangan teknologi begitu cepat sehingga segala informasi dengan berbagai bentuk dan kepentingan dapat tersebar luas ke seluruh dunia.Oleh karena itu globalisasi tidak dapat kita hindari kehadirannya.
Kehadiran globalisasi tentunya membawa pengaruh bagi kehidupan suatu negara termasuk Indonesia. Pengaruh tersebut meliputi dua sisi yaitu pengaruh positif dan pengaruh negatif. Pengaruh globalisasi di berbagai bidang kehidupan seperti kehidupan politik, ekonomi, ideologi, sosial budaya dan lain- lain akan mempengaruhi nilai- nilai nasionalisme terhadap bangsa.
• Pengaruh positif globalisasi terhadap nilai- nilai nasionalisme
1. Dilihat dari globalisasi politik, pemerintahan dijalankan secara terbuka dan demokratis. Karena pemerintahan adalah bagian dari suatu negara, jika pemerintahan djalankan secara jujur, bersih dan dinamis tentunya akan mendapat tanggapan positif dari rakyat. Tanggapan positif tersebut berupa rasa nasionalisme terhadap negara menjadi meningkat.
2. Dari aspek globalisasi ekonomi, terbukanya pasar internasional, meningkatkan kesempatan kerja dan meningkatkan devisa negara. Dengan adanya hal tersebut akan meningkatkan kehidupan ekonomi bangsa yang menunjang kehidupan nasional bangsa.
3. Dari globalisasi sosial budaya kita dapat meniru pola berpikir yang baik seperti etos kerja yang tinggi dan disiplin dan Iptek dari bangsa lain yang sudah maju untuk meningkatkan kemajuan bangsa yang pada akhirnya memajukan bangsa dan akan mempertebal rasa nasionalisme kita terhadap bangsa.

• Pengaruh negatif globalisasi terhadap nilai- nilai nasionalisme
1. Globalisasi mampu meyakinkan masyarakat Indonesia bahwa liberalisme dapat membawa kemajuan dan kemakmuran. Sehingga tidak menutup kemungkinan berubah arah dari ideologi Pancasila ke ideologi liberalisme. Jika hal tesebut terjadi akibatnya rasa nasionalisme bangsa akan hilang
2. Dari globalisasi aspek ekonomi, hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri karena banyaknya produk luar negeri (seperti Mc Donald, Coca Cola, Pizza Hut,dll.) membanjiri di Indonesia. Dengan hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri menunjukan gejala berkurangnya rasa nasionalisme masyarakat kita terhadap bangsa Indonesia.
3. Mayarakat kita khususnya anak muda banyak yang lupa akan identitas diri sebagai bangsa Indonesia, karena gaya hidupnya cenderung meniru budaya barat yang oleh masyarakat dunia dianggap sebagai kiblat.
4. Mengakibatkan adanya kesenjangan sosial yang tajam antara yang kaya dan miskin, karena adanya persaingan bebas dalam globalisasi ekonomi. Hal tersebut dapat menimbulkan pertentangan antara yang kaya dan miskin yang dapat mengganggu kehidupan nasional bangsa.
5. Munculnya sikap individualisme yang menimbulkan ketidakpedulian antarperilaku sesama warga. Dengan adanya individualisme maka orang tidak akan peduli dengan kehidupan bangsa.
Pengaruh- pengaruh di atas memang tidak secara langsung berpengaruh terhadap nasionalisme. Akan tetapi secara keseluruhan dapat menimbulkan rasa nasionalisme terhadap bangsa menjadi berkurang atau hilang. Sebab globalisasi mampu membuka cakrawala masyarakat secara global. Apa yang di luar negeri dianggap baik memberi aspirasi kepada masyarakat kita untuk diterapkan di negara kita. Jika terjadi maka akan menimbulkan dilematis. Bila dipenuhi belum tentu sesuai di Indonesia. Bila tidak dipenuhi akan dianggap tidak aspiratif dan dapat bertindak anarkis sehingga mengganggu stabilitas nasional, ketahanan nasional bahkan persatuan dan kesatuan bangsa.







• Pengaruh Globalisasi Terhadap Nilai Nasionalisme di Kalangan Generasi Muda
Arus globalisasi begitu cepat merasuk ke dalam masyarakat terutama di kalangan muda. Pengaruh globalisasi terhadap anak muda juga begitu kuat. Pengaruh globalisasi tersebut telah membuat banyak anak muda kita kehilangan kepribadian diri sebagai bangsa Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan gejala- gejala yang muncul dalam kehidupan sehari- hari anak muda sekarang.
Dari cara berpakaian banyak remaja- remaja kita yang berdandan seperti selebritis yang cenderung ke budaya Barat. Mereka menggunakan pakaian yang minim bahan yang memperlihatkan bagian tubuh yang seharusnya tidak kelihatan. Pada hal cara berpakaian tersebut jelas- jelas tidak sesuai dengan kebudayaan kita. Tak ketinggalan gaya rambut mereka dicat beraneka warna. Pendek kata orang lebih suka jika menjadi orang lain dengan cara menutupi identitasnya. Tidak banyak remaja yang mau melestarikan budaya bangsa dengan mengenakan pakaian yang sopan sesuai dengan kepribadian bangsa.
Teknologi internet merupakan teknologi yang memberikan informasi tanpa batas dan dapat diakses oleh siapa saja. Apa lagi bagi anak muda internet sudah menjadi santapan mereka sehari- hari. Jika digunakan secara semestinya tentu kita memperoleh manfaat yang berguna. Tetapi jika tidak, kita akan mendapat kerugian. Dan sekarang ini, banyak pelajar dan mahasiswa yang menggunakan tidak semestinya. Misal untuk membuka situs-situs porno. Bukan hanya internet saja, ada lagi pegangan wajib mereka yaitu handphone. Rasa sosial terhadap masyarakat menjadi tidak ada karena mereka lebih memilih sibuk dengan menggunakan handphone.
Dilihat dari sikap, banyak anak muda yang tingkah lakunya tidak kenal sopan santun dan cenderung cuek tidak ada rasa peduli terhadap lingkungan. Karena globalisasi menganut kebebasan dan keterbukaan sehingga mereka bertindak sesuka hati mereka. Contoh riilnya adanya geng motor anak muda yang melakukan tindakan kekerasan yang menganggu ketentraman dan kenyamanan masyarakat.
Jika pengaruh-pengaruh di atas dibiarkan, mau apa jadinya genersi muda tersebut? Moral generasi bangsa menjadi rusak, timbul tindakan anarkis antara golongan muda. Hubungannya dengan nilai nasionalisme akan berkurang karena tidak ada rasa cinta terhadap budaya bangsa sendiri dan rasa peduli terhadap masyarakat. Padahal generasi muda adalah penerus masa depan bangsa. Apa akibatnya jika penerus bangsa tidak memiliki rasa nasionalisme?
Berdasarkan analisa dan uraian di atas pengaruh negatif globalisasi lebih banyak daripada pengaruh positifnya. Oleh karena itu diperlukan langkah untuk mengantisipasi pengaruh negatif globalisasi terhadap nilai nasionalisme.
• Antisipasi Pengaruh Negatif Globalisasi Terhadap Nilai Nasionalisme
Langkah- langkah untuk mengantisipasi dampak negatif globalisasi terhadap nilai- nilai nasionalisme antara lain yaitu :
1. Menumbuhkan semangat nasionalisme yang tangguh, misal semangat mencintai produk dalam negeri.
2. Menanamkan dan mengamalkan nilai- nilai Pancasila dengan sebaik- baiknya.
3. Menanamkan dan melaksanakan ajaran agama dengan sebaik- baiknya.
4. Mewujudkan supremasi hukum, menerapkan dan menegakkan hukum dalam arti sebenar- benarnya dan seadil- adilnya.
5. Selektif terhadap pengaruh globalisasi di bidang politik, ideologi, ekonomi, sosial budaya bangsa.
Dengan adanya langkah- langkah antisipasi tersebut diharapkan mampu menangkis pengaruh globalisasi yang dapat mengubah nilai nasionalisme terhadap bangsa. Sehingga kita tidak akan kehilangan kepribadian bangsa

PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP DUNIA PENDIDIKAN
Kemajuan Teknologi Informasi dan Komunikasi dewasa ini telah banyak mengubah budaya dan peradaban bangsa Indonesia dengan segala dampak positip dan negatifnya. Kalo kita perhatikan pada tahun 1991 :
1. Masih banyak gedung bioskop baik di kota maupun dipelosok desa dan banyak peminatnya, serta banyak orang hajatan yang memanfaatkan hiburan baik layar tancap maupun video,
2. Wartel masih sangat laku dimana-mana sampai banyak sekali orang yang berminat buka wartel dan berebut yang membuat telkom jadi bingung serta membuat suatu peraturan yang dijadikan syarat untuk mendirikan wartel,
3. Telepon kabel/rumah banyak sekali peminatnya dan telkom kerepotan untuk melayani masyarakat
4. Di kantor-kantor jarang ada komputer, karena komputer masih menjadi barang yang mahal
5. Di Perguruan Tinggi dan sekolah, belajar dengan menggunakan OHP sudah dianggap kere
Coba bandingkan dengan apa yang terjadi sekarang (tahun 2008), tentu sebaliknya. Teknologi berkembang sangat pesat, pemerintah juga jadi kerepotan dan akhirnya mengubah kurikulum pendidikan di Indonesia disesuaikan dengan tuntutan era globalisasi. pertanyaannya adalah:
BAGAIMANA MODEL SEKOLAH MASA DEPAN?
kalau kita perhatikan di era globalisasi yang dibutuhkan adalah bagaimana diri kita dapat diterima keberadaannya di belahan dunia manapun, dengan bekal sertifikat Nasional apakah cukup tentunya untuk menghadapi era globalisasi kita membutuhkan sertifikasi internasional sebagai pengakuan atas eksistensi kita di level internasional, sehingga kita dapat berselancar ke negara manapun dengan sertifikat internasional yang kita miliki.
mungkin ke depan, peserta didik lebih memilih Ujian Internasional yang Ijazahnya dapat dibanggakan dan dapat digunakan untuk melanjutkan studi ke luar negerti dan mendapat pengakuan secara internasional.
masalahnya adalah
1. Apakah sekolah siap menyelenggarakan pendidikan bertaraf Internasional untuk mendapat Ijazah Internasional
2. Apakah Guru sudah kompeten dalam menyelenggarakan pendidikan
Bagaimana kalau tidak siap?
Globalisasi seperti gelombang yang akan menerjang, tidak ada kompromi, kalo kita tidak siap maka kita akan diterjang, kalo kita tidak mampu maka kita akan menjadi orang tak berguna dan kita hanya akan jadi penonton saja.
Apa yang akan terjadi?
1. Desakan dari orang tua yang menuntut sekolah menyelenggarakan pendidikan bertaraf internasional
2. Desakan dari siswa untuk bisa ikut ujian sertifikasi internasional
Bagaimana jika sekolah tidak mampu memenuhi harapan itu?
sekolah akan ditinggalkan oleh siswa, dan tidak ada lagi yang mau sekolah di sekolah konvensional
Truz, apa trend?
maka akan bermunculan
1. Home schooling, yang melayani siswa memenuhi harapan siswa dan orang tua karena tuntutan global
2. Virtual School dan Virtual University
Bagaimana mempertahankan eksistensi sekolah?
agar sekolah tetap eksis, maka sekolah harus:
1. Meningkatkan mutu SDM terutama Guru dalam penguasaan Bahasa Inggris dan Bahasa Asing lainnya
2. Peningkatan Mutu Guru dalam penguasaan teknologi Informasi dan Komunikasi
3. Peningkatan Mutu Managemen sekolah
4. Peningkatan Mutu sarana dan Prasarana
5. Sertifikasi Internasional untuk guru
demikianlah, semoga kita dapat mengarungi arus derasnya gelombang globalisasi dan kita tidak tenggelam dalam gelombang.
PERUBAHAN KURIKULUM DI TENGAH MITOS GLOBALISASI

Dunia pendidikan kita sudah berkali-kali mengalami perubahan kurikulum. Setidaknya sudah enam kali perubahan kurikulum tercatat dalam sejarah, yakni Kurikulum 1962, 1968, 1975, 1984, 1994, dan KBK. Namun, apa dampaknya terhadap kemajuan peradaban bangsa? Sudahkah pendidikan di negeri ini mampu melahirkan anak-anak bangsa yang visioner; yang mampu membawa bangsa ini berdiri sejajar dan terhormat dengan negara lain di kancah global? Sudahkah “rahim” dunia pendidikan kita melahirkan generasi bangsa yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga cerdas secara emosional, spiritual, dan sosial?

Jawaban terhadap semua pertanyaan itu agaknya membuat kita sedikit gerah. Jutaan generasi datang silih-berganti memasuki tembok sekolah. Namun, kenyataan yang kita rasakan, nilai kesalehan, baik individu maupun sosial, nyaris tak terhayati dan teraplikasikan dalam panggung kehidupan nyata. Yang kita saksikan, justru kian meruyaknya kasus korupsi, kolusi, manipulasi, kejahatan krah putih, atau perilaku anomali sosial lain yang dilakukan oleh orang-orang yang notabene sangat kenyang “makan sekolahan”. Yang lebih memprihatinkan, negeri kita dinilai hanya mampu menjadi bangsa “penjual” tenaga kerja murah di negeri orang. Kenyataan empiris semacam itu, disadari atau tidak, sering dijadikan sebagai indikator bahwa dunia pendidikan kita telah “gagal” melahirkan tenaga-tenaga ahli yang memiliki kompetensi untuk bersaing di pasar kerja, meskipun berkali-kali terjadi perubahan kurikulum.
Di tengah-tengah keprihatinan semacam itu, secara mendadak Mendiknas meluncurkan Peraturan Nomor 22, 23, dan 24 tahun 2006 tentang Standar Isi (SI), Standar Kompetensi Lulusan (SKL), dan pelaksanaannya pada awal tahun ajaran 2006/2007 lalu. Melalui ketiga Permendiknas tersebut, sekolah (SD, SMP/MTs, SMA/SMK/MA) harus menyusun Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) berdasarkan panduan yang disusun oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Satuan pendidikan (baca: sekolah) dapat menerapkan Permendiknas tersebut mulai tahun ajaran 2006/2007 dan paling lambat pada tahun ajaran 2006/2007 semua sekolah harus sudah mulai menerapkannya.
Persoalannya sekarang, apakah KTSP mampu mengantisipasi perubahan dan gerak dinamika zaman ketika semua negara di dunia sudah menjadi sebuah perkampungan global? Apakah KTSP mampu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana amanat UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas?

Mitos Globalisasi
Sebagai bagian dari masyarakat dunia, Indonesia mustahil mampu menghindar dari dampak dan imbas globalisasi. Globalisasi telah mendorong terciptanya rekonfigurasi geografis, sehingga ruang-sosial tidak lagi semata dipetakan oleh kawasan teritorial, jarak teritorial, dan batas-batas teritorial. A. Giddens (1990) mendefinisikan globalisasi sebagai intensifikasi hubungan sosial global yang menghubungkan komunitas lokal sedemikian rupa sehingga peristiwa yang terjadi di kawasan yang jauh bisa dipengaruhi oleh peristiwa yang terjadi di suatu tempat yang jauh pula, dan sebaliknya. Dalam konteks ini, globalisasi juga dipahami sebagai sebuah proses (atau serangkaian proses) yang melahirkan sebuah transformasi dalam spatial organization dari hubungan sosial dan transaksi --ditinjau dari segi ekstensitas, intensitas, kecepatan dan dampaknya-- yang memutar mobilitas antar-benua atau antar-regional serta jejaringan aktivitas.
Dunia pendidikan pun tak luput dari imbas dan pengaruh yang dihembuskan oleh globalisasi. Paling tidak, ada tiga perubahan mendasar yang akan terjadi dalam dunia pendidikan kita. Pertama, dunia pendidikan akan menjadi objek komoditas dan komersil seiring dengan kuatnya hembusan paham neo-liberalisme yang melanda dunia. Paradigma dalam dunia komersial adalah usaha mencari pasar baru dan memperluas bentuk-bentuk usaha secara kontinyu. Globalisasi mampu memaksa liberalisasi berbagai sektor yang dulunya non-komersial menjadi komoditas dalam pasar yang baru. Tidak heran apabila sekolah masih membenani orang tua murid dengan sejumlah anggaran berlabel uang komite atau uang sumbangan pengembangan institusi meskipun pemerintah sudah menyediakan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Kedua, mulai longgarnya kekuatan kontrol pendidikan oleh negara. Tuntutan untuk berkompetisi dan tekanan institusi global, seperti IMF dan World Bank, mau atau tidak, membuat dunia politik dan pembuat kebijakan harus berkompromi untuk melakukan perubahan. Lahirnya UUD 1945 yang telah diamandemen, UU Sisdiknas, dan PP 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) setidaknya telah membawa perubahan paradigma pendidikan dari corak sentralistis menjadi desentralistis.
Ketiga, globalisasi akan mendorong delokalisasi dan perubahan teknologi dan orientasi pendidikan. Pemanfaatan teknologi baru, seperti komputer dan internet, telah membawa perubahan yang sangat revolusioner dalam dunia pendidikan yang tradisional. Pemanfataan multimedia yang portable dan menarik sudah menjadi pemandangan yang biasa dalam praktik pembelajaran di dunia persekolahan kita.
Meskipun demikian, diperlukan kearifan dalam memahami pengaruh dan dampak globalisasi terhadap dunia pendidikan kita. Mitos yang berkembang selama ini tentang globalisasi adalah bahwa proses globalisasi akan membuat dunia seragam. Proses globalisasi akan menghapus identitas dan jati diri. Kebudayaan lokal dan etnis akan ditelan oleh kekuatan budaya besar atau kekuatan budaya global.
Dalam pandangan Mursal Esten, anggapan atau jalan pikiran semacam itu tidak sepenuhnya benar. Kemajuan teknologi komunikasi memang telah membuat batas-batas dan jarak menjadi hilang dan tidak berguna. Kemajuan Iptek telah membuat surutnya peranan kekuasaan ideologi dan kekuasaan negara. Dalam buku Global Paradox, Naisbitt pun memperlihatkan hal yang justru bersifat paradoks dari fenomena globalisasi. Di dalam bidang ekonomi, misalnya, Naisbitt mengatakan bahwa semakin besar dan semakin terbuka ekonomi dunia, perusahaan-perusahaan kecil dan sedang akan semakin mendominasi. "Semakin kita menjadi universal, tindakan kita semakin bersifat kesukuan", "berfikir lokal, bersifat global," ujar Naisbitt. Ini artinya, proses globalisasi tetap menempatkan masalah lokal ataupun masalah etnis sebagai masalah yang penting yang harus dipertimbangkan.
Dalam konteks demikian, perlu ada penekanan dan perhatian yang lebih serius dari tim pengembang KTSP di sekolah untuk “membumikan” unsur-unsur kearifan dan kebudayaan lokal ke dalam kurikulum. Bahasa dan Sastra Jawa, misalnya, harus menjadi muatan lokal yang “wajib” dikembangkan di sekolah, termasuk di SMA/SMK/MA. Bahkan, perlu dikembangkan lebih lanjut melalui kegiatan pengembangan diri secara terprogram dalam bentuk kegiatan ekstrakurikuler dengan merangkul para pemerhati, pakar, atau penggiat Bahasa dan Sastra Jawa. Dengan cara demikian, sekolah benar-benar akan mampu menjalankan fungsinya sebagai “agen peradaban” yang menggambarkan masyarakat mini --lengkap dengan segala atribut, identitas, dan jatidirinya secara utuh-- di tengah-tengah perkampungan global yang gencar menawarkan perubahan gaya hidup dan kultur modern lainnya. Dengan kata lain, sekolah harus menjadi “benteng” terakhir pengembangan unsur-unsur kearifan dan kebudayaan lokal ketika atmosfer sosial-budaya yang berkembang di tengah-tengah masyarakat demikian liar dan masif dalam mengadopsi kultur global dengan berbagai ikon modernitasnya.
Implementasi KTSP dalam dunia persekolahan kita juga perlu diikuti dengan perubahan sistem pembelajaran yang benar-benar memberikan ruang gerak kepada siswa didik untuk mengembangkan potensi dirinya agar memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Namun, diakui atau tidak, perubahan kurikulum selama ini hanya sebatas papan nama. Secara lahiriah menggunakan label kurikulum baru, tetapi sejatinya masih menggunakan “roh” kurikulum yang lama.
Dalam pandangan Prof. Aleks Maryunis, guru besar Universitas Negeri Padang (2006), selama ini pemerintah sibuk mengurusi dan membenahi dokumen tertulisnya saja. Menurutnya, perubahan kurikulum di negara kita kebanyakan menitikberatkan pada perubahan konsep tertulis, tanpa mau memperbaiki proses pelaksanaannya di tingkat sekolah. Kurikulum di Indonesia sebenarnya memiliki empat dimensi dasar, yakni konsep dasar kurikulum, dokumen tertulis, pelaksanaan, dan hasil belajar siswa. Di Indonesia yang kerap mengalami perubahan hanya dimensi dokumen tertulis berupa buku-buku pelajaran dan silabus saja yang sudah dilaksanakan. Persoalan proses dan hasilnya, tak pernah mampu dijawab oleh kurikulum pendidikan kita.
Kita berharap, implementasi KTSP saat ini tidak lagi terjebak ke dalam praktik semu di mana perubahan kurikulum hanya sekadar jadi momentum “adu konsep”, sedangkan dimensi proses dan hasil-hasilnya sama sekali tak terurus. Jangan sampai terjadi, dunia persekolahan kita hanya menjadi ladang “kelinci percobaan” yang pada akhirnya hanya akan melahirkan generasi-generasi “setengah jadi” yang gagap menyelesaikan persoalan-persoalan riil yang sedang dihadapinya.

Peran Keluarga
Yang tidak kalah penting, implementasi KTSP harus diimbangi dengan intensifnya peran pendidikan dalam lingkungan keluarga. Berbagai kajian empiris membuktikan bahwa peranan keluarga dan orang tua berkaitan memiliki pengaruh yang signfikan terhadap prestasi belajar anak. Menurut Idris dan Jamal (1992), peranan orang tua dalam mendidik anak adalah memberikan dasar pendidikan, sikap dan watak, dan ketrampilan dasar seperti pendidikan agama, budi pekerti, sopan-santun, estetika, kasih sayang, rasa aman, dasar-dasar mematuhi peraturan, serta menanamkan kebiasaan-kebiasaan yang baik dan disiplin.
Globalisasi, disadari atau tidak, juga telah membawa perubahan dan pergeseran gaya hidup dalam lingkungan keluarga. Kuatnya gerusan gaya hidup konsumtif, materistis, dan hedonis ke dalam ruang keluarga seringkali menimbulkan dampak memudarnya komunikasi antaranggota keluarga. Orang tua sibuk di luar rumah, sedangkan anak yang luput mendapatkan perhatian dan kasih sayang sering kali menghabiskan waktunya dengan cara mereka sendiri. Hubungan anak dan orang tua pun hanya semata-mata bersifat biologis. Orang tua sudah merasa cukup jika sanggup memenuhi kebutuhan hidup materiil sampai kelak sang anak bisa hidup berumah tangga. Sedangkan, hubungan yang hakiki; kesuntukan membangun komunikasi dan interaksi secara utuh – lahir dan batin—luput dari perhatian.
Dalam upaya menghadapi “penjajahan” kultur yang dominan sebagai imbas globalisasi, idealnya keluarga harus menjadi “barikade” yang mampu menciptakan “imunisasi” terhadap anasir-anasir negatif globalisasi. Anak-anak tetap berperan aktif dalam lingkungan global, tetapi pendidikan dalam keluarga memberinya kekebalan terhadap pengaruh-pengaruh negatif dari globalisasi. Dengan kata lain, dari ranah keluarga, anak-anak bangsa negeri ini perlu diarahkan secara optimal untuk meraih manfaat dan nilai positif dari segala macam bentuk pengaruh globalisasi yang demikian liar membombardir keutuhan keluarga.
Seiring dengan dinamika globalisasi yang terus merambah ke segenap lapis dan lini kehidupan, sekolah tidak lagi mampu berperan sebagai in loco parentis yang akan mengambil alih peran orang tua secara utuh. Harus ada sinergi antara pendidikan yang berlangsung di lingkungan keluarga dan di sekolah. Keluarga harus kembali kepada “fitrah”-nya sebagai institusi yang menyenangkan; tempat menaburkan dan membumikan nilai-nilai akhlakul karimah, etika, kasih sayang, dan nilai-nilai luhur lainnya. Jika dasar-dasar karakter anak sudah terbentuk, mereka akan memiliki motivasi berprestasi yang lebih tinggi karena perpaduan antara kecerdasan intelektual, emosional, spiritual, dan sosial sudah mulai terformat dengan baik. Dengan cara demikian, peran sekolah dalam mengoptimalkan pengembangan potensi kognitif, afektif, dan motorik anak akan bisa berlangsung dengan baik.
Sebagus apa pun konsep perubahan kurikulum, tanpa diimbangi dengan optimalnya peran stakeholder pendidikan, hal itu tidak akan banyak membawa dampak positif bagi kemajuan peradaban bangsa. Sudah terlalu lama bangsa ini merindukan lahirnya generasi bangsa yang “utuh dan paripurna”; berimtaq tinggi, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Hanya potret generasi semacam ini yang akan mampu membawa bangsa ini sanggup bersaing di tengah kancah peradaban global yang demikian kompetitif secara arif, matang, dan dewasa. Nah, akankah perubahan kurikulum di awal tahun ajaran ini mampu menjadi momentum bangkitnya kemajuan dunia pendidikan di negeri kita? Kita tunggu saja! ***
Globalisasi Pendidikan Merugikan Indonesia

Kendari (Lampost/Ant): Rektor Universitas Haluoleo (Unhalu) Kendari,
Prof. Mahmud Hamundu, mengatakan globalisasi pendidikan hanya akan
menguntungkan negara maju. Oleh karena itu, Indonesia jangan menerima
globalisasi pendidikan itu.

"Dilihat dari kepentingan nasional, globalisasi pendidikan itu lebih
banyak ruginya daripada untungnya. Jadi sangatlah tepat kalau Forum Rektor
Indonesia (FRI) menolak keras pelaksanaan globalisasi pendidikan di Indonesia,"
katanya di Kendari, Senin (29-11).

Menurut dia, kalau Indonesia menerima globalisasi pendidikan, pasti akan
membawa konsekuensi yang sangat luas dalam pelaksanaan pendidikan. Karena dalam
berbagai hal, pendidikan nasional masih jauh tertinggal dibanding pendidikan di
negara-negara maju.

Pendidikan di Indonesia akan makin terpuruk jika menerima globalisasi
pendidikan. Sebab, masyarakat nantinya akan lebih berkiblat pada lembaga
pendidikan yang diselenggarakan negara-negara luar.

"Para pengajar profesional di berbagai perguruan tinggi di Indonesia bisa
jadi pula akan ikut hijrah mengajar pada lembaga pendidikan yang didirikan
negara luar. Sebab, mereka tergiur tawaran penghasilan yang jauh lebih besar,"
kata dia.

Di sisi lain, kata Mahmud, lembaga-lembaga pendidikan yang didirikan
negara luar, belum tentu mau memasukkan mata kuliah yang sangat mendasar dalam
pendidikan nasional, seperti mata kuliah Pancasila dan Agama dalam kurikulum
mereka.

Menurut Rektor, memang akan ada aturan yang mengikat lembaga pendidikan
yang diselenggarakan negara luar itu. Namun, hal itu tidak menjamin mereka akan
tunduk pada aturan. Sebab, dengan kekuatan yang mereka miliki, bisa saja aturan
itu dilanggar.

"Negara-negara maju itu menguasai segalanya. Mereka menguasai teknologi,
pendidikan, ekonomi, informasi, dan keuangan. Jadi apa saja bisa mereka
lakukan, termasuk dalam melanggar aturan yang ada," kata Mahmud.

Ia juga khawatir kalau Indonesia menerima globalisasi pendidikan,
kesiapan masyarakat dalam menerima pengaruh budaya luar yang dibawa melalui
lembaga pendidikan yang mereka dirikan di Indonesia.

Selain itu, tidak tertutup kemungkinan lembaga pendidikan yang didirikan
negara maju di Indonesia, akan menjadi perpanjangan tangan untuk memasukkan
kepentingan mereka.

Mengenai adanya anggapan dengan menerima globalisasi pendidikan akan
memacu kompetisi dengan pendidikan nasional, ia mengatakan, itu sulit terjadi.
Sebab, bahasa dasar pendidikan di Indonesia menggunakan bahasa Indonesia.

"Kalau Filipina atau Malaysia mungkin saja karena bahasa dasar pendidikan
di kedua negara itu menggunakan bahasa Inggris. Indonesia masih butuh waktu
lama untuk menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar pendidikan,"
katanya.

Minim Pendaftar

Sementara itu, perkuliahan program Magister Ekonomi Pertanian/Agrobisnis
Universitas Lampung (Unila) baru akan dimulai Januari mendatang. Hal ini karena
masih minimnya mahasiswa yang mendaftar.

Sekretaris Program Magister Agrobisnis Zainal Abidin, Senin (29-11),
mengatakan pihaknya telah menambah waktu pendaftaran dari jadwal yang sudah
ditentukan hingga 30 September lalu. Namun, hingga kini mahasiswa yang
mendaftar baru 10 orang dan belum memenuhi kuota yang diharapkan. Hal tersebut
dikarenakan kurangnya publikasi program tersebut ke masyarakat.

Selain itu, minimnya pendaftar pada program yang baru dibuka 2004-2005,
menurut dia, karena singkatnya waktu pendaftaran terkait baru keluarnya surat
izin dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) Agustus lalu.
"Sehingga waktu pendaftaran yang seharusnya dibuka awal September terpaksa baru
bisa dilaksanakan pertengahan September karena program tersebut masih sibuk
melakukan persiapan-persiapan," ujar dia.

Oleh karena itu, panitia yang disetujui Rektor Prof. Muhajir Utomo akan
terus membuka pendaftaran bagi calon mahasiswa yang ingin mendaftar hingga
Desember mendatang. Zainal mengharapkan target mahasiswa bisa terpenuhi
menjelang dimulainya matrikulasi yang juga akan dimulai Desember mendatang.
"Sedangkan awal kuliah kemungkinan baru dimulai Januari mendatang," kata dia.

Mengenai keterlambatan waktu kuliah dibandingkan program studi yang lain,
menurut Zainal, hal tersebut tidak menjadi masalah. Sebab, saat memulai
perkuliahan awal nanti jadwal kuliah akan dipadatkan sehingga tidak akan
tertinggal. "Kami akan mengejar supaya jadwal tatap muka 16 kali bisa terpenuhi
dan selanjutnya bisa menyesuaikan dengan kalender akademik Unila," ujar dia.

Menurut Zainal, program studi yang diketuai Prof. Ali Ibrahim Haysim,
mantan Dekan Pertanian, memiliki prospek yang baik. Sebab, program ini dinilai
sesuai dengan kebutuhan pasar saat ini. Program ini juga didukung pengajar yang
berpengalaman. Selain dosen-dosen Pertanian Unila seperti Dr. Bustanul Arifin,
Dr. Wan Abbas Zakaria juga akan ditambah pengajar dari IPB dan pengajar dari
universitas negeri lainnya. n Via/S-4

by: KOMANG PASTIADA

Senin, 07 September 2009

EVALUASI PENDIDIKAN
Evaluasi merupakan kegiatan pengumpulan kenyataan mengenai proses pembelajaran secara sistematis untuk menetapkan apakah terjadi perubahan terhadap peserta didik dan sejauh apakah perubahan tersebut mempengaruhi kehidupan peserta didik. (dikutip dari Bloom et.all 1971).
Stufflebeam et.al 1971 mengatakan bahwa evaluasi adalah proses menggambarkan, memperoleh dan menyajikan informasi yang berguna untuk menilai alternatif keputusan.
Evaluasi sendiri memiliki beberapa prinsip dasar yaitu ;
1. Evaluasi bertujuan membantu pemerintah dalam mencapai tujuan pembeljaran bagi masyrakat.
2. Evaluasi adalah seni, tidak ada evaluasi yang sempurna, meski dilkukan dengan metode yang berbeda.
3. Pelaku evaluasi atau evaluator tidak memberikan jawaban atas suatu pertanyaan tertentu. Evaluator tidak berwennag untuk memberikan rekomendasi terhadap keberlangsungan sebuah program. Evaluator hanya membantu memberikan alternatif.
4. Penelitian evaluasi adalah tanggung jawab tim bukan perorangan.
5. Evaluator tidak terikat pada satu sekolah demikian pula sebaliknya.
6. evaluasi adalah proses, jika diperlukan revisi maka lakukanlah revisi.
7. Evaluasi memerlukan data yang akurat dan cukup, hingga perlu pengalaman untuk pendalaman metode penggalian informasi.
8. Evaluasi akan mntap apabila dilkukan dengan instrumen dan teknik yang aplicable.
9. Evaluator hendaknya mampu membedakan yang dimaksud dengan evaluasi formatif, evaluasi sumatif dan evaluasi program.
10. Evaluasi memberikan gambaran deskriptif yang jelas mengenai hubungan sebab akibat, bukan terpaku pada angka soalan tes.
Dengan demikian dapat dimengerti bahwa sesungguhnya evaluasi adalah proses mengukur dan menilai terhadap suatu objek dengan menampilkan hubungan sebab akibat diantara faktor yang mempengaruhi objek tersebut.
Tujuan evaluasi adalah untuk melihat dan mengetahui proses yang terjadi dalam proses pembelajaran. Proses pembelajaran memiliki 3 hal penting yaitu, input, transformasi dan output. Input adalah peserta didik yang telah dinilai kemampuannya dan siap menjalani proses pembelajaran.
transformasi adalah segala unsur yang terkait dengan proses pembelajaran yaitu ; guru, media dan bahan beljar, metode pengajaran, sarana penunjang dan sistem administrasi. Sedangkan output adalah capaian yang dihasilkan dari proses pembelajaran.
Evaluasi pendidikan memiliki beberapa fungsi yaitu ;
1. Fungsi selektif
2. Fungsi diagnostik
3. Fungsi penempatan
4. Fungsi keberhasilan
Maksud dari dilakukannya evaluasi adalah ;
1. Perbaikan sistem
2. Pertanggungjawaban kepada pemerintah dan masyarakat
3. Penentuan tindak lanjut pengembangan
PRINSIP PRINSIP EVALUASI
1. Keterpaduan
2. evauasi harus dilakukan dengan prinsip keterpaduan antara tujuan intrusional pengajaran, materi pembelajaran dan metode pengjaran.
3. Keterlibatan peserta didik
4. prinsip ini merupakan suatu hal yang mutlak, karena keterlibatan peserta didik dalam evaluasi bukan alternatif, tapi kebutuhan mutlak.
5. Koherensi
6. evaluasi harus berkaitan dengan materi pengajaran yang telah dipelajari dan sesuai dengan ranah kemampuan peserta didik yang hendak diukur.
7. 4. Pedagogis
8. Perlu adanya tool penilai dari aspek pedagogis untuk melihat perubahan sikap dan perilaku sehingga pada akhirnya hasil evaluasi mampu menjadi motivator bagi diri siswa.
9. Akuntabel
10. Hasil evaluasi haruslah menjadi aalat akuntabilitas atau bahan pertnggungjawaban bagi pihak yang berkepentingan seeprti orangtua siswa, sekolah, dan lainnya.
TEKNIK EVALUASI
Teknik evaluasi digolongkan menjadi 2 yaitu teknik tes dan teknik non Tes
1. teknik non tes meliputi ; skala bertingkat, kuesioner,daftar cocok, wawancara, pengamatan, riwayat hidup.
a. Rating scale atau skala bertingkat menggambarkan suatu nilai dalam bentuk angka. Angka-angak diberikan secara bertingkat dari anggak terendah hingga angkat paling tinggi. Angka-angka tersebut kemudian dapat dipergunakan untuk melakukan perbandingan terhadap angka yang lain.
b. Kuesioner adalah daftar pertanyaan yang terbagi dalam beberapa kategori. Dari segi yang memberikan jawaban, kuesioner dibagi menjadi kuesioner langsung dan kuesioner tidak langsung. Kuesioner langsung adalah kuesioner yang dijawab langsung oleh orang yang diminta jawabannya. Sedangkan kuesiioner tidak langsung dijawab oleh secara tidak langsung oleh orang yang dekat dan mengetahui si penjawab seperti contoh, apabila yang hendak dimintai jawaban adalah seseorang yang buta huruf maka dapat dibantu oleh anak, tetangga atau anggota keluarganya. Dan bila ditinjau dari segi cara menjawab maka kuesioner terbagi menjadi kuesioner tertutup dan kuesioner terbuka. Kuesioner tertututp adalah daftar pertanyaan yang memiliki dua atau lebih jawaban dan si penjawab hanya memberikan tanda silang (X) atau cek (√) pada awaban yang ia anggap sesuai. Sedangkan kuesioner terbuka adalah daftar pertanyaan dimana si penjawab diperkenankan memberikan jawaban dan pendapat nya secara terperinci sesuai dengan apa yang ia ketahui.
c. Daftar cocok adalah sebuah daftar yang berisikan pernyataan beserta dengan kolom pilihan jawaban. Si penjawab diminta untuk memberikan tanda silang (X) atau cek (√) pada awaban yang ia anggap sesuai.
d. Wawancara, suatu cara yang dilakukan secara lisan yang berisikan pertanyaan-pertanyaan yang sesuai dengan tujuan informsi yang hendak digali. wawancara dibagi dalam 2 kategori, yaitu pertama, wawancara bebas yaitu si penjawab (responden) diperkenankan untuk memberikan jawaban secara bebas sesuai dengan yang ia diketahui tanpa diberikan batasan oleh pewawancara. Kedua adalah wawancara terpimpin dimana pewawancara telah menyusun pertanyaan pertanyaan terlebih dahulu yang bertujuan untuk menggiring penjawab pada informsi-informasi yang diperlukan saja.
e. Pengamatan atau observasi, adalah suatu teknik yang dilakuakn dengan mengamati dan mencatat secara sistematik apa yang tampak dan terlihat sebenarnya. Pengamatan atau observasi terdiri dari 3 macam yaitu : (1) observasi partisipan yaitu pengamat terlibat dalam kegiatan kelompok yang diamati. (2) Observasi sistematik, pengamat tidak terlibat dalam kelompok yang diamati. Pengamat telah membuat list faktor faktor yang telah diprediksi sebagai memberikan pengaruh terhadap sistem yang terdapat dalam obejek pengamatan.
f. Riwayat hidup, evaluasi ini dilakukan dengan mengumpulkan data dan informasi mengenai objek evaluasi sepanjang riwayat hidup objek evaluasi tersebut.
2. Teknik tes. Dalam evaluasi pendidikan terdapat 3 macam tes yaitu :
a. tes diagnostik
b. tes formatif
c. tes sumatif
Penjelasan mengenai 3 macam tes diatas dapat dibaca pada bagian Teknik Tes
PROSEDUR MELAKSANAKAN EVALUASI
Dalam melaksanakan evaluasi pendidikan hendaknya dilakukan secara sistematis dan terstruktur. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa evaluasi pendidikan secara garis besar melibatkan 3 unsur yaitu input, proses dan out put. Apabila prosesdur yang dilakukan tidak bercermin pada 3 unsur tersebut maka dikhawatirkan hasil yang digambarkan oleh hasil evaluasi tidak mampu menggambarkan gambaran yang sesungguhnya terjadi dalam proses pembelajaran. Langkah-langkah dalam melaksanakan kegiatan evaluasi pendidikan secara umum adalah sebagai berikut :
a. perencanaan (mengapa perlu evaluasi, apa saja yang hendak dievaluasi, tujuan evaluasi, teknikapa yang hendak dipakai, siapa yang hendak dievaluasi, kapan, dimana, penyusunan instrument, indikator, data apa saja yang hendak digali, dsb)
b. pengumpulan data ( tes, observasi, kuesioner, dan sebagainya sesuai dengan tujuan)
c. verifiksi data (uji instrument, uji validitas, uji reliabilitas, dsb)
d. pengolahan data ( memaknai data yang terkumpul, kualitatif atau kuantitatif, apakah hendak di olah dengan statistikatau non statistik, apakah dengan parametrik atau non parametrik, apakah dengan manual atau dengan software (misal : SAS, SPSS )
e. penafsiran data, ( ditafsirkan melalui berbagai teknik uji, diakhiri dengan uji hipotesis ditolak atau diterima, jika ditolak mengapa? Jika diterima mengapa? Berapa taraf signifikannya?) interpretasikan data tersebut secara berkesinambungan dengan tujuan evaluasi sehingga akan tampak hubungan sebab akibat. Apabila hubungan sebab akibat tersebut muncul maka akan lahir alternatif yang ditimbulkan oleh evaluasi itu.
Pengukuran
Pengukuran dapat diartikan dengan kegiatan untuk mengukur sesuatu. Pada hakekatnya, kegiatan ini adalah membandingkan sesuatu dengan atau sesuatu yang lain (Anas Sudijono, 1996: 3) Jika kita mengukur suhu badan seseorang dengan termometer, atau mengukur jarak kota A dengan kota B, maka sesungguhnya yang sedang dilakukan adalah mengkuantifikasi keadaan seseorang atau tempat kedalam angka. Karenanya, dapat dipahami bahwa pengukuran itu bersifat kuantitatif
Maksud dilaksanakan pengukuran sebagaimana dikemukakan Anas Sudijono (1996: 4) ada tiga macam yaitu : (1) pengukuran yang dilakukan bukan untuk menguji sesuatu seperti orang mengukur jarak dua buah kota, (2) pengukuran untuk menguji sesuatu seperti menguji daya tahan lampu pijar serta (3) pengukuran yang dilakukan untuk menilai. Pengukuran ini dilakukan dengan jalan menguji hal yang ingin dinilai seperti kemajuan belajar dan lain sebagainya.
Dalam dunia pendidikan, yang dimaksud pengukuran sebagaimana disampaikan Cangelosi (1995: 21) adalah proses pengumpulan data melalui pengamatan empiris. Proses pengumpulan ini dilakukan untuk menaksir apa yang telah diperoleh siswa setelah mengikuti pelajaran selama waktu tertentu. Proses ini dapat dilakukan dengan mengamati kinerja mereka, mendengarkan apa yang mereka katakan serta mengumpulkan informasi yang sesuai dengan tujuan melalui apa yang telah dilakukan siswa.
Menurut Mardapi (2004: 14) pengukuran pada dasarnya adalah kegiatan penentuan angka terhadap suatu obyek secara sistematis. Karakteristik yang terdapat dalam obyek yang diukur ditransfer menjadi bentuk angka sehingga lebih mudah untuk dinilai. aspek-aspek yang terdapat dalam diri manusia seperti kognitif, afektif dan psikomotor dirubah menjadi angka. Karenanya, kesalahan dalam mengangkakan aspek-aspek ini harus sekecil mungkin. Kesalahan yang mungkin muncul dalam melakukan pengukuran khususnya dibidang ilmu-ilmu sosial dapat berasal dari alat ukur, cara mengukur dan obyek yang diukur.
Pengukuran dalam bidang pendidikan erat kaitannya dengan tes. Hal ini dikarenakan salah satu cara yang sering dipakai untuk mengukur hasil yang telah dicapai siswa adalah dengan tes. Selain dengan tes, terkadang juga dipergunakan nontes. Jika tes dapat memberikan informasi tentang karakteristik kognitif dan psikomotor, maka nontes dapat memberikan informasi tentang karakteristik afektif obyek.



b. Penilaian
Penilaian merupakan bagian penting dan tak terpisahkan dalam sistem pendidikan saat ini. Peningkatan kualitas pendidikan dapat dilihat dari nilai-nilai yang diperoleh siswa. Tentu saja untuk itu diperlukan sistem penilaian yang baik dan tidak bias. Sistem penilaian yang baik akan mampu memberikan gambaran tentang kualitas pembelajaran sehingga pada gilirannya akan mampu membantu guru merencanakan strategi pembelajaran. Bagi siswa sendiri, sistem penilaian yang baik akan mampu memberikan motivasi untuk selalu meningkatkan kemampuannya.
Dalam sistem evaluasi hasil belajar, penilaian merupakan langkah lanjutan setelah dilakukan pengukuran. informasi yang diperoleh dari hasil pengukuran selanjutnya dideskripsikan dan ditafsirkan. Karenanya, menurut Djemari Mardapi (1999: 8) penilaian adalah kegiatan menafsirkan atau mendeskripsikan hasil pengukuran. Menurut Cangelosi (1995: 21) penilaian adalah keputusan tentang nilai. Oleh karena itu, langkah selanjutnya setelah melaksanakan pengukuran adalah penilaian. Penilaian dilakukan setelah siswa menjawab soal-soal yang terdapat pada tes. Hasil jawaban siswa tersebut ditafsirkan dalam bentuk nilai.
Menurut Djemari Mardapi (2004: 18) ada dua acuan yang dapat dipergunakan dalam melakukan penilaian yaitu acuan norma dan acuan kriteria. Dalam melakukan penilaian dibidang pendidikan, kedua acuan ini dapat dipergunakan. Acuan norma berasumsi bahwa kemampuan seseorang berbeda serta dapat digambarkan menurut kurva distribusi normal. Sedangkan acuan kriteria berasumsi bahwa apapun bisa dipelajari semua orang namun waktunya bisa berbeda.
Penggunaan acuan norma dilakukan untuk menyeleksi dan mengetahui dimana posisi seseorang terhadap kelompoknya. Misalnya jika seseorang mengikuti tes tertentu, maka hasil tes akan memberikan gambaran dimana posisinya jika dibandingkan dengan orang lain yang mengikuti tes tersebut. Adapun acuan kriteria dipergunakan untuk menentukan kelulusan seseorang dengan membandingkan hasil yang dicapai dengan kriteria yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Acuan ini biasanya digunakan untuk menentukan kelulusan seseorang. Seseorang yang dikatakan telah lulus berarti bisa melakukan apa yang terdapat dalam kriteria yang telah ditetapkan dan sebaliknya. Acuan kriteria, ini biasanya dipergunakan untuk ujian-ujian praktek.
Dengan adanya acuan norma atau kriteria, hasil yang sama yang didapat dari pengukuran ataupun penilaian akan dapat diinterpretasikan berbeda sesuai dengan acuan yang digunakan. Misalnya, kecepatan kendaraan 40 km/jam akan memiliki interpretasi yang berbeda apabila kendaraan tersebut adalah sepeda dan mobil.
c. Evaluasi
Pengukuran, penilaian dan evaluasi merupakan kegiatan yang bersifat hierarki. Artinya ketiga kegiatan tersebut dalam kaitannya dengan proses belajar mengajar tidak dapat dipisahkan satu sama lain dan dalam pelaksanaannya harus dilaksanakan secara berurutan.

Evaluasi Menurut Suharsimi Arikunto (2004: 1) adalah kegiatan untuk mengumpulkan informasi tentang bekerjanya sesuatu, yang selanjutnya informasi tersebut digunakan untuk menentukan alternatif yang tepat dalam mengambil keputusan. Dalam bidang pendidikan, evaluasi sebagaimana dikatakan Gronlund (1990: 5) merupakan proses yang sistematis tentang mengumpulkan, menganalisis dan menafsirkan informasi untuk menentukan sejauhmana tujuan pembelajaran telah dicapai oleh siswa. Menurut Djemari Mardapi (2004: 19) evaluasi adalah proses mengumpulkan informasi untuk mengetahui pencapaian belajar kelas atau kelompok.

Dari pendapat di atas, ada beberapa hal yang menjadi ciri khas dari evaluasi yaitu: (1) sebagai kegiatan yang sistematis, pelaksanaan evaluasi haruslah dilakukan secara berkesinambungan. Sebuah program pembelajaran seharusnya dievaluasi disetiap akhir program tersebut, (2) dalam pelaksanaan evaluasi dibutuhkan data dan informasi yang akurat untuk menunjang keputusan yang akan diambil. Asumsi-asumsi ataupun prasangka. bukan merupakan landasan untuk mengambil keputusan dalam evaluasi, dan (3) kegiatan evaluasi dalam pendidikan tidak pernah terlepas dari tujuan-tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan sebelumnya. Karena itulah pendekatan goal oriented merupakan pendekatan yang paling sesuai untuk evaluasi pembelajaran.
PERBEDAAN ANTARA SKOR DAN NILAI
Seringkali orang berfikir memiliki pandangan yang sama antara skor dan nilai,padahal kedua hal tersebut memiliki perbedaan makna.Fenomena seperti ini tidak hanya terjadi dalam masyarakat tetapi di kalangan guru pun masih mencampuradukkan antara kedua pengertian yaitu skor dan nilai.Untuk itu mari kita telaah lebih jauh mengenai pengertian skor dan nilai.
Pengertian Skor adalah hasil pekerjaan menskor yang diperoleh dengan menjumlahkan angka-angka bagi setiap soal tes yang dijawab betul oleh siswa bersangkutan.Sebagai contoh seorang siswa di berikan sebanyak 40 soal objektif,dia bisa menjawab sebanyak 30 soal.soal yang terjawab inilah di sebut skor.Sebelum kita mambahas nilai perlu juga di ketahui bahwa skor dapat di bagi menjadi tiga macam yaitu
a) Skor yang di peroleh (obtained score) yaitu sejumlah biji yang dimiliki oleh testee.skor yang di peroleh ini sangat di pengaruhi oleh hal –hal lain misalnya situasi tidak memungkinkan,kecemasan,dan sebagainya sehingga skor yang di peroleh ini kadangkala tidak mencerminkan pengetahuan dan keterampilan siswa sesungguhnya.
b) Skor sebenarnya (true score) atau sering juga disebut nilai alam (universe score) yaitu skor yang dimiliki oleh testee yang sebenarnya,untuk mengetahui hal ini perlu di lakukan pengulangan tes maka dari hasil tersebut akan memperoleh skor yang sebenarnya.
c) Skor kesalahan (false score) adalah perbedaan yang muncul dari skor sebenarnya dengan skor yang sebenarnya.

Nilai adalah angka ubahan dari skor dengan menggunakan acuan tertentu,yakni acuan normal atau acuan standar. Misalnya dari 40 soal hanya dapat di jawab oleh seorang siswa sebanyak 30 soal maka
30 / 40 x 100% = 75, jadi angka 75 inilah yang merupakan nilai yang dimiliki oleh siswa tersebut.





PENDAHULUAN

Guru tidak dapat efektif jika tidak dapat mengukur secara akurat pencapaian siswanya. Mengukur secara akurat ini penting sebab guru tidak dapat membantu siswanya secara efektif jika tidak mengetahui pengetahuan dan ketrampilan yang dikuasai siswanya dan pelajaran apa yang masih menjadi masalah bagi siswanya. Hal yang sama pentingnya adalah guru tidak dapat memperbaiki jika tidak memperoleh indikasi efektifitas dalam mengajar.
MENGUKUR PENCAPAIAN

Yang dimaksud dengan pencapaian adalah pengetahuan, pengertian, dan ketrampilan yang dikuasai sebagai hasil pengalaman pendidikan khusus. Kita mengartikan pengetahuan sebagai bagian tertentu dari informasi. Pengertian mempunyai implikasi kemampuan mengekspresikan pengetahuan ini ke berbagai cara, melihat hubungan dengan pengetahuan lain, dan dapat mengaplikasikannya ke situasi baru, contoh dan masalah. Ketrampilan kita artikan mengetahui bagaimana mengerjakan sesuatu .
Mengapa mengukur
Kita mengukur untuk menggambarkan pengetahuan dan ketrampilan siswa atau sebagai dasar untuk mengambil keputusan. Terdapat beberapa alasan mengapa mengukur pencapaian siswa.
Umpan Balik
Fungsi penting pada tes pencapaian adalah memberikan umpan balik dengan mempertimbangkan efektifitas pembelajaran. Pengetahuan pada performance siswa membantu guru untuk mengevaluasi pembelajaran mereka dengan menunjuk area dimana pembelajaran telah efektif dan area dimana siswa belum menguasai. Informasi ini dapat dignakan untuk merencanakan pembelajaran selanjutnya dan memberikan nasehat untuk metode pembelajaran alternatif. Umpan balik memberikan beberapa fungsi. Pertama menginformasikan kepada guru dan siswa mengenai tingkat performance siswa pada suatu pembelajaran. Kedua memberikan informasi diagnostic yang dapat digunakan untuk merencanaka pembelajaran selanjutnya, dan atau remedial. Ketiga dengan mempertimbangkan hasil beberapa tes, kita dapat memperoleh pengukuran kemajuan dan perbaikan siswa.
Selain sebagai umpan balik alasan mengukur pencapaian adalah untuk memberikan motivasi, menentukan peringkat, profisiensi adalah memberikan sertifikat bahwa siswa telah mencapai tingkat kemampuan (minimal ) dalam suau bidang tertentu.. Hasil pencapaian tes dapat juga digunakan pada evaluasi pembelajaran.
Kapan mengukur pencapaian
• Pada permulaan pembelajaran
Untuk merencanakan pembelajaran yang efektif kita harus mempertimbangakan kemampuan dan karakteristik siswa. Informasi ini dapat diperoleh dari tes pencapaian. Selain itu informasi yang diperoleh adalah penguasaan materi prasyarat. Hal lain yang dapat disaring dari tes pencapaian ini adalah mengukur pengetahuan siswa mengenai materi yang telah diajarkan.
• Selama pembelajaran.
Tes yang diberikan selama pembelajaran digunakan untuk menentukan bagaimana kemajuan pembelajaran. Informasi ini kemudian dapat digunakn unuk memodifikasi pembelajaran langsung dan belajar. Dan hal ini digunakan sebagai evaluasi formative.
• Pada akhir pembelajaran
Tes ini akan mengukur seberapa bagus materi telah dipelajari dengan membandingkan satu siswa dengan siswa lain atau dengan beberapa profisiensi standar. Untuk guru pengukuran ini digunakan sebagi evaluasi sumatif. Biasanya evaluasi ini digunakan sebagai dasar penentuan tingkatan ( grade ).
Bagaimana mengukur pencapaian
Beberapa metode yang tersedia adalah Informal dan metode Observasional contohnya pengetahuan yang terlihat dari performance verbal dalam kelas, menjawab pertanyaan, kontribusi dalam diskusi, pertanyaan yang diajukan dsb. ; guru membuat tes sendiri contoh dengan kuis mingguan, pop kuis, tes unit dsb. ; dan tes standar.
MERENCANAKAN TES
Dalam merencanakan tes kita harus mengetahui karakteristik instrumen mengukur yang baik. Apa tujuan tes dan informasi apa yang ingin diperoleh dalam tes sangat penting diperhatikan dalam merencanakan tes. Hal- hal yang harus diperhatikan dalam merencanakan tes adalah :
• Relevansi
Tes harus mengukur hasil yang merefleksikan pencapaian tujuan dan tujuan khusus suatu kursus. Tes harus mengandung materi yang telah diajarkan,selain tu tes juga mengukur hanya pengetahuan dan ketrampilan yang telah diajarkan dalam kursus
• Pengambilan sampel yang tepat.
Setiap item tes harus merefleksikan hasil pembelajaran yang diinginkan. Jika hal ni tidak mungin maka tes harus mencakup sampling representatitif hasil pembelajaran ang penting.
• Kondisi standar
Jika pengguna tes tidak menggunakan tes dibawah kondisi yang sama ( waktu yang diberikan sama, tingkat kesukaran dan content sama dsb ), perbedaan faktor akan mempengaruhi performance sehingga skor mereka tidak dapat langsung dibandingkan.
• Kesukaran yang sesuai
Kesukaran item didefinisikan sebagai persentase manusia yang menjawab item dengan benar.Kesukaran item ditentukan beberapa hal antara lain umur siswa. Dalam mastery testing item yang bagus akan dijawab benar oleh siswa yang menguasai materi. Dalam keadaan lain kesukaran item digunakan untuk menentukan grade, tujuan testing untuk membedakan antara siswa yang memiliki berbagai tingkat pengetahuan mengenai suatu subyek.
• Konsistensi
Konsistensi atau reliability adalah hal penting dalam tes karena jika tes tidak menguur secar konsisten skor individu akan bervariasi dari waktu ke waktu.s
• Skor yang penuh arti
Skor akan memberikan informasi yang berguna, skor yang akurat akan menggambarkan pencapaian siswa dan dapat digunakan untuk mengambil keputusan.
Dalam merencanakan suatu tes terdapat tiga metode. Metode I merencanakan tes content/ skill. Pengukuran pencapaian disini dengan memperhatikan pengetahuan (dimensi isi) dan proses kognitif (dimensi skill). Jika kita akan mengembangkan dimensi skill dalam perencanaan kita harus dapat mengidentifikasi dan mengklasifikasikan kognitif skill. Klasifikasi yang diberikan menggunakan Taxonomy of Educational Objectives : Cognitive Domain dari Bloom : pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, evaluasi. Metode ke II adalah sampling objective yang mengukur pencapaian hasil pembelajaran yang diinginkan dan lebih menekankan kepada tujuan khusus perilaku. Pendekatan ketiga adalah pendekatan kombinasi dengan mengembangkan content/skill tes dengan mengidentifikasi perilaku yang tepat pada setiap sel konten/ skill.
ALTERNATIVE - CHOICE ITEM; SHORT ANSWER, ESSAY, AND PROBLEM ITEMS
Ketika membuat tes guru dapat memilih bermacam-macam tipe item seperti true false, short answer, multiple choice, essay, problem. Format yang diseleksi tergantung pada subyek, siswa, tujuan kursus, dan tujuan tes. Untuk menghasilkan item yang bagus harus : mengambil materi penting, item harus jelas dan sederhana, yakin bagaimana siswa merespon, item harus independen, flexibel, item yang jelek harus di edit dan direvisi.

Multiple choice item
Multiple choice item terdiri dari stem dan nomor respon yang mungkin. Stem mungkin kalimat yang tidak lengkap atau pertanyaan. Jika stem merupakan kalimat yang tidak lengkap, tugas siswa adalah melengkapi dengan pernyataan yang paling tepat. Jika item merupakan pertanyaan, kita harus memberikan alternatif jawaban yang mungkin. Siswa disuruh memilih alternatif yang benar atau paling tepat. Alternatif jawaban terdiri dari jawaban yang benar dan beberapa pengecoh.

True -False item
True False item adalah kalimat deklarative, siswa menilai pernyataan yang disajikan benar atau salah. Erdapat beberapa argumen mengenai True-False item ini; pertama True-False item ini hanya dapat mengukur pengetahuan saja. Argumen kedua True-False item bersifat ambigo. Seringkali ke ambigo-an ini dirasakan oleh siswa yang tidak mempunyai pengetahuan yang dibutuhkan untuk menjawapab item. Argumen ketiga pendidik yakin bahwa siswa dapat memperoleh skor tinggi dengan menebak, karena hanya dua pilihan maka siswa mempunyai kesempatan 50 % untuk mendapatkan jawaban benar atau salah dengan menebak.

Matching Item
Matching terdiri dari dua paralel daftar, yang satu berisi stimulus atau stem yang lain berisi respon yang mngkin.Tugas siswa adalah mencocokkkan bentuk dari dua daftar, hal ini adalah menyeleksi respon ang paling cocok untuk setiap stimulus. Stimulus dapat menggunakan pernyataan verbal. Bagaimanapun, matching item cocock untuk beberapa tipe materi.

Short answer
Short answer memberikan beberapa tipe item yang akan direspon siswa dengan kata, phrase, kalimat, simbol atau nomer. Short-answer item yang sering digunakan adalah melengkapi item dengan kalimat atau beberapa kata yang hilang.

Essay Question.
Essai question terdiri dari pernyataan, seringkali beberapa kalimat panjang yang menggambarkan situasi dan atau problem. Tugas siswa adalah menulis essay untuk menjawab problem yang dituju. Jawaban ini mungkin satu paragraf atau beberapa halaman. Perbedaan antara short answer dengan essay question adalah panjangnya respon yang dibutuhkan. Pada essay question lebih ditekankan pada mengorganisasikan dan menggabungkan materi. Problem dapat dilakukan pendekatan dengan berbagai cara.

Problems
Dalam beberapa cara problem memberikan fungsi yang sama dalam kursus matematika dan science sebagai essay question yang dikerjakan dalam studi sosial dan kursus humanity. Situasi dan atau beberapa informasi disajikan dan tugas siswa adalah memberikan solusi.
Mengadministrasikan dan Mensekor test
Mempersiapkan tes
Setelah anda menulis item, bebrapa langkah tambahan harus dilengkapi sebelum tes diadministrasikan : 1) menyeleksi bagian item untuk dirangkum pada tes dan menyusun dalam bentuk yang akan diberikan kepada siswa; 20 mempersiapkan lembar jawaban; 3) menulis tujuan tes; 4) menentukan batasan waktu; 5) mengembangkan prosedur skoring dan aturan.

Menyusun Tes
Memilih item dimana konten dan skill atau tujuan khusus mewakili proporsi seperti yang diinginkan. Setelah itu yang perlu difikirkan adalah bagaimana menyajikan item kepada siswa.
Lembar jawaban
Terdapat pilihan antara merespon pada tes itu sendiri atau pada lembar jawaban terpisah.Menjawab pada lembar tes hanya drekomendasikan pada siswa yang masih kecil, karena ini akan mengurangi jawaban yang salah dan tidak membuat bingung anak-anak. Menggunakan jawaban yang terpisah akan memberi keuntungan, dimana guru dapat mengecek jawaban tanpa harus melihat materi tes.
Petunjuk
Jika siswa tidak mengenal prosedur testing, petunjuk harus diberikan pada permulaan tes.

Batasan Waktu
Ketika mengukur pencapaian, kita lebih menginginkan keuatan tes dari pada kecepatannya. Sebagai implikasinya siswa harus memperoleh cukup waktu untuk menyelesaikan tes.

Mengadministrasikan Tes
• Setting fisik.
Tes akan diadministrasikan dalam kelas. Kondisi sama yang mendukung efektifitas belajar harus dilanjutkan selama tes. Ruang harus tenang, lampu terang, ventilasi bagus dan bebas interupsi.
• Iklim Psikologi
Membuat iklim positif dalam atmosfer kelas, sehingga siswa dapat menghadapi situasi tes dengan relax. Hal ini dapat dilakukan dengan memberi pengertian alasan tes dilakukan dan meyakinkan siswa bahwa persiapan tes yang bagus akan membantu siswa.

Menskor Tes
Ketika menskor tujuannya adalah memperoleh tujuan dan skor yang adil.Seluruh proses harus dirancang untuk memberikan informasi apa yang dapat dilakukan siswa untuk membimbing mereka menuju studi selanjutnya. Bimbingan dan saran yang dibuat harus membantu pencapaian tujuan.

ANALISA TES ITEM INDIVIDU
Tujuan analisa item adalah mengevaluasi kualitas item tes. Dengan mengobservasi bagaimana siswa merespon berbagai item, kita dapat mengetahui mana soal yang sukar mana item yang mudah. Analisa item secara umum berkaitan dengan tiga aspek item. Pertama adalah kesukaran item. Index kesukaran item didefinisikan sebagai proporsi siswa yang menjawab item dengan benar. Komponen yang kedua adalah menentukan kekuatan item. Index pembeda item menyatakan apakah item membedakan antara siswa yang mempunyai pengetahuan banyak dan siswa dengan pengetahuan sedikit pada materi yang di tes kan. Komponen ketiga dari analisa item adalah evaluasi distraktor. Analisa ini tepat digunakan pada pilihan ganda dan mencocokkan item.
RELIABILITAS DAN VALIDITAS.
Realibilitas
Reliabilitas tes memberikan konsistensi pada apa yang diukur. Reliabilitas berkaitan dengan pertanyaan selanjutnya. Apakah siswa akan mendapat skor yang sama jika diberikan tes pada dua kejadian yang berbeda/; apakah siswa mendapat skor sama jika diberikan dua bentuk tes yang berbeda; seberapa stabil skor yang didapat. Dalam mengukur konsistensi dikenal standar kesalahan pengukuran dimana hal ini sebagai index terdapat seberapa kesalahan pengukuran pada skor individu.
Validitas
Disini dikenal konten validitas yang berkaitan dengan seberapa bagus contoh item tes mendefinisikan domain pengetahuan, ketrampilan atau kemampuan. Validitas konstruk berkaitan dengan seberapa bagus tes mengukur variabel psikologi. Validitas yang berhubungan dengan criterion yang berkaitan dengan seberapa bagus skor tes memprediksi kinerja (nn tes).Tipe validitas yang relevan dengan tes pencapaian dalam kelas adalah konten validitas, yang memberikan spesifikasi mengenai pengetahuan dan ketrampilan apa yang ingin diukur.
METODE LAIN YANG DIGUNAKAN UNTUK MENGUKUR PENCAPAIAN
Selain menggunakan tes secara tertulis, guru dapat menilai pencapaian siswa. Metode ini digunakan untk melihat kemampuan dan ketrampilan yang tidak dapat diukur secara efektif dengan tes tertulis. Metode yang dilakukan dengan melakukan observasi. Observasi ini akan mengenalkan kita pada proses atau metode dalam mempertunjukkan kinerja , mengenalkan pada hasil, dimana hal itu akan memberikan informasi yang dibutuhkan untuk memperbaiki kinerja siswa dan memfasilitasi belajar mereka.
STANDAR PENCAPAIAN TES
Norm Reference Tes
Pada norm reference tes skor diinterpretasikan dengan membandingkan kinerja individu pada skor yang didapat pada peserta tes lain.Kelompok orang yang digunakan untuk pembanding dinamakan kelompok norma.
Content Referenced Test
Pendekatan ini mempunyai beberapa nama seperti criterion reference, objective referenced, domain referenced. Faktor penting yang ditekankan disini adalah skor diinterpretasikan kedalam terms tingkat penguasaan siswa pada konten domain spesifik. Pada CRT kita membuat beberapa item untuk mengukur setiap tujuan yang penting, tidak hanya contoh item yang menyajikan konten domain.
GRADING (memberikan peringkat)
Walaupun penentuan peringkat yang digunakan pada saat ini jauh dari sempurna, hal ini memberikan bukti yang dibutuhkan untuk membuat beberapa keputusan penting dalam pendidikan. Semua prosedur disarankan, termasuk mengeliminasi peringkat. Apa yang dibutuhkan untuk memperbaiki proses penentuan peringkat, adalah menspesifikasi secara lebih jelas dasar dan arti dari peringkat dan prosedur lembaga untuk meyakinkan bahwa berbagai instruktur menggunakan prosedur yang dapat dibandingkan dalam penentuan peringkat. Jika standar prosedur diikuti, penentuan peringkat akan dengan bagus mengukur pencapaian relatif siswa atau penguasaan isi.
MENGGUNAKAM TES PENCAPAIAN DALAM PMBELAJARAN
Mengukur pencapaian adalah memperoleh informasi pada pembelajarab individu siswa., apa yang mereka tahu, apa yang dapat mereka lakukan, bagaimana kemajuan belajarnya dan sebagainya.
Poin pertama dalam proses pembelajaran adalah kita membutuhkan informasi mengenai individu siswa pada permulaan pembelajaran. Informasi ini dapat digunakan untuk membantu kita merencanakan pembelajaran, agar siswa lebih mudah beradaptasi pada pembelajaran kita yang berkaitan dengan kemampuan, pengetahuan, dan ketrampilannya. Infomasi kedua yang dibutuhkan adalah penguasaan pengetahuan prasyarat dan ketrampilan. Informasi ketiga yang dibutuhkan adalah materi apa dalam pelajaran yang sudah diketahui siswa.
Evaluasi Pembelajaran.
Tes pencapaian yang paling banyak digunakan adalah mengukur belajar individu sisiwa. Tetapi untuk tujuan lain dapat juga digunakan untuk mengukur efektifitas metode pembelajaran, materi dan instruktur.
Dalam evaluasi formatif, kita dapat menentukan materi apa yang telah dikuasai siswa, kesalahan apa yang dibuat siswa, dan problem belajar apa yang dialami siswa. Karena tujuan utama dari evaluasi formatif adalah mengidentifikasi problem belajar dan memodifikasi pembelajaran untuk membantu siswa belajar, penugasan dan tes harus mengacu pada content reference/ citerion reference.Hal ini difokuskan pada penguasaan siswaterhadap materi tujuan khusus, tidak membandingkan siswa dengan siswa lain.
Pada evaluasi sumatif , instrumen pengukuran biasanya akan ditentukan oleh tujuan pembelajaran pada suatu kursus. Jika tujuannya adalah mengajarkan motor skill, tes performance akan lebih tepat. Jika tujuannya adalah menilai kemampuan siswa untuk mengorganisasikan dan mengintegrasikan materi, essay test akan lebih tepat.
Jika tujuan anda adalah merangking siswa, tes harus dibuat lebih luas, harus mempunyai distribusi skor yang luas, dan harus diinterpretasikan dengan cara norma refference.
Komentarku (My comment)
Setelah membaca buku Frederick. G. Brown yang berjudul Measuring Classroom Achievement dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa buku ini memberikan suatu gambaran umum mengenai pengukuran pencapaian siswa dalam kelas. Pembahasan mengenai pengukuran pencapaian ini dimulai dari mengapa, kapan, dan bagaimana mengukur pencapaian tersebut hingga bagaimana merencanakan sebuah tes, jenis-jenis tes, bagaimana menskor, menganalisa skor, standar tes pencapaian tes, penentuan peringkat dan penggunaan tes pencapaian dalam pembelajaran.
Secara umum buku ini cukup bagus digunakan sebagai pegangan untuk orang- orang yang berkecimpung dalam dunia pendidikan, seperti dosen, guru, mahasiswa pendidikan dan orang-orang yang mempunyai perhatian terhadap dunia pendidikan. Untuk orang-orang yang tidak mempunyai latar belakang ilmu pendidikan dan membuat langkah baru dalam dunia pendidikan, buku ini akan sangat bermanfaat karena meskipun buku ini termasuk buku lama(1981) tetapi bahasa yang digunakan mudah di pahami serta mencakup substansi materi yang cukup luas.

Jika dibandingkan dengan buku- buku lain seperti buku yang ditulis oleh Norman E. Grondlund dalam bukunya Constructing Achievement Tes serta buku Evaluation to Improve Learning yang ditulis Benyamin S. Bloom, materi yang membahas mengenai tes pencapaian seperti bagaimna merencanakan tes, menyusun tes, jenis-jenis tes, kriteria yang digunakan, bagaimana menskor, menganalisa dan mengevaluasinya, ke tiga buku tersebut memberikan penjelasan yang hampir sama walaupun menggunakan bahasa yang berbeda, hanya untuk poin- pon tertentu saja mereka mempunyai sedikit perbedaan. Jika terdapat pertanyaan buku manakah yang terbagus dari tiga buku tersebut maka saya akan mengatakan bahwa yang terbaik adalah jika kita menggabungkan inti materi yang terdapat pada ketiga materi tersebut dimana kita mengambil hal-hal yang cocok dengan pendapat kita.

Norman E. Gronlund dalam bukunya Constructing Achievement Tests mengatakan bahwa objective tes seperti multiple choice, true- False, short answer hanya bagus untuk mengukur hasil belajar pada tingkat pengetahuan, pemahaman, aplikasi, dan analisis, tetapi tidak tepat untuk sintesa dan evaluasi. Sedangkan dalam buku Measuring Classroom Achievement dikatakan bahwa adalah salah jika ada pendapat bahwa multiple choice yang merupakan salah satu jenis dari objective tes hanya dapat digunakan untuk tes pengetahuan dan materi faktual. Multiple choice dapat digunakan untuk mengukur level cognitive skill yang lebih tinggi yaitu dengan menggunakan pernyataan yang merupakan situasi baru, informasi maupun contoh. Saya setuju dengan pendapat yang disampaikan oleh Frederick G. Brown tersebt bahwa semua jenis tes yang termasuk dalam kategori objective tes sebenarnya dapat digunakan untuk mengetahui hasil belajar siswa baik pada tingkat pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisa sistesa maupun evaluasi. Banyak guru mengatakan bahwa di Indonesia untuk siswa tingkat sekolah dasar sampai sekolah menengah atas guru membuat tes hasil belajar hanya untuk mengukur pengetahuan, pemahaman, dan aplikasi saja, karena multiple choice hanya bisa mengukur tiga level kognitif itu saja. Menurut saya semua jenis tes obyektif dapat mengukur 6 tingkat cognitive skill, hanya yang perlu dipertimbangkan adalah efisien dan efektifkah tes tersebut digunakan untuk mengukur tingkat cognitive yang diinginkan. Ketrampilan dalam membuat stem pada soal- soal tes multiple choice akan sangat menentukan apakah tes tersebut dapat digunakan untuk mengukur tingkat cognitif skill yang lebih tinggi atau tidak karena membuat tes untuk mengetahi hasil belajar pada tingkat pengetahuan akan lebih mudah.

Dalam membandingkan antara objective tes dan essay tes Frederick G. Brown dan Norman E. Grondlund memberikan pandangan yang sama bahwa dalam obyektif tes item yang digunakan bisa lebih luas dengan mengambil sampel konten yang mewakili, sedangkan dalam essay tes item yang digunakan lebih terbatas sukar untuk mengambil sampel yang mewakili seluruh materi sehingga respon yang didapat akan lebih mendalam pada area yang ditanyakan. Dalam memberikan skoring objective tes lebih obyektif, sederhana, dan reliabilitasnya tinggi, sedangkan essay tes penilaiannya lebih subyektif misalnya panjangnya respon, kualitas tulisan, akan menentukan penilaian. Karena faktor tersebut maka penilaian dalam essay tes tidak reliabel.
Untuk mengadakan evaluasi formatif multile choice kurang cocok digunakan. Ketidak tepatan ini disebabkan tes multiple choice tidak mengukur kedalaman materi sehingga memberi kesempatan kepada siswa untuk menebak jawaban saja. Sedangkan dalam evaluasi formatif ini guru ingin mengetahui apa yang telah dicapai siswa dengan cara menggali lebih dalam kompetensi siswa yang merupakan manifestasi dari hasil belajar. Dengan mengetahui kompetensi siswa, maka kelemahan dan kekuatan akan dapat terdeteksi. Kemajuan siswa, kemampuan minimum siswa , kemampuan guru mengajar akan terlihat dalam evaluasi ini sehingga baik atau buruknya proses belajar akan terlihat disini. Evaluasi formatif ini berfungsi sebagai umpan balik bagi guru dan siswa, jika hasil belajar siswa bagus maka akan diadakan pembelajaran selanjutnya tetapi jika hasil belajar siswa buruk maka akan diadakan perbaikan dalam pembelajaran. Evaluasi formatif sangat cocok menggunakan tes essay karena tes ini akan mengukur kemampuan /kinerja siswa disesuaikan dengan tujuan pembelajaran. Sehingga untuk materi yang akan diukur siswa akan memberikan respon yang tak terbatas sesuai dengan pengetahuan dan kemampuan yang dimilikinya karena jawaban yang diberikan tidak terstruktur. Karena memberikan kemungkinan jawaban yang yang tidak menuju kesatu arah saja/ konvergen serta memberi kesempatan kepada siswa untuk merespon tanpa dibatasi maka tes essay ini dapat digunakan untuk mengukur cognitive pada level analisis, sintesis dan evaluasi, dimana hal ini sangat sukar dilakukan dalam tes multiple choice. Akan tetapi penggunaan tes essay ini mempunyai kelemahan yaitu hanya mungkin memberikan materi yang terbatas serta butir soal yang tidak terlalu banyak mengingat jawabannya yang tak terstruktur. Dalam penilaiannyapun cenderung besifat subyektif contohnya jika seorang guru mempunyai murid kesayangan maka nilai yang diberikan akan tinggi, atau jika dengan melihat tulisan yang jelek saja guru sudah enggan memerikasa sehingga nilai yang diperoleh siswa akan tidak memadai walaupun jawaban tersebut mencerminkan kompetensi siswa yang tinggi. Oleh karena itulah esay tes ini kurang reliabel dibandingkan multiple choice.

Dalam kaitannya dengan EBTANAS atau UMPTN dimana evaluasi yang dilakukan berguna untuk pengambilan keputusan maka evaluasi yang cocok digunakan adalah evaluasi sumatif. Untuk mengukur kemampuan siswa tes yang paling tepat digunakan adalah multiple choice, karena dalam tes multiple choice memberikan kemungkinan pemberian materi yang banyak, selain itu butir soal yang banyakpun tidak akan bermasalah. Pemberian materi serta butir soal yang banyak ini sangat diperlukan mengingat dalam evaluasi sumatif ini bertujuan untuk verifikasi apakah siswa akan lulus atau tidak lulus sehingga butir pertanyaan akan mencakup seluruh materi pelajaran yang sudah ditetapkan dalam kurikulum. Dalam evaluasi sumatif ini tidak perlu melihat kedalaman materi yang dikuasai siswa, yang terpenting bahwa siswa menguasai seluruh materi yang tercakup dalam kurikulum meskipun tidak secara mendalam karena respon yang harus diberikan pun terbatas, sehingga tidak membutuhkan pemikiran yang lebih meluas dan kreatif/divergen. Karena tes multiple choice membutuhkan pemikiran yang konvergen/menuju ke satu arah maka akan sangat sukar untuk mengukur cognitive pada level analisis, sintesis, dan evaluasi. Dalam penilaian, tes multiple choice akan lebih mudah dilakukan karena sudah terdapat kunci jawaban sehingga penilaian akan lebih bersifat obyektif dan dengan sendirinya akan lebih reliabel dibandingkan dengan essay tes.

Dalam kaitannya dengan kriteria penilaian, evaluasi formatif akan tepat menggunakan Criterion Refference dimana penilaian dilakukan tidak dengan membandingkan individu satu dengan individu lain dalam satu kelompok, tetapi mengukur kompetensi minimum anak dalam satu area tertentu. Contoh: jika seorang anak mampu mengerjakan 6 soal dari 10 soal, maka anak tersebut dapat menguasai materi sebanya 60 %. Dengan emikian anak tersebut dapat melanjutkan pembelajaran selanjutnya karena dianggap telah mencapai kompetensi minimum dalam pembelajaran tersebut. Tetapi seandainya anak hanya dapat mengerjakan 3 soal dari 10 soal yang ada, maka anak tersebut hanya menguasai 30 % saja dari materi pembelajaran tersebut, sehingga dianggap belum mempunyai kompetensi minimum dalam materi pembelajaran tersebut, sehingga perlu dilakukan program perbaikan/ remedial.

Untuk evaluasi sumatif, kriteria penilaian yang tepat adalah Norm Refference, dimana kedudukan siswa satu dibandingkan dengan siswa lain dalam kelas. Contoh : seorang anak dengan nilai 9 belum tentu merupakan anak yang terpintar dikelas, karena teman- teman dalam kelompoknya mendapat nilai 10 semua. Seperti dalam penerimaan mahasiswa melalui UMPTN kriteria yang digunakan adalah Norm Refference serta evaluasi yang digunakan adalah evaluasi sumatif. Karena yang dilakukan adalah menyeleksi saja maka tidak akan mencerminkan kompetensi siswa pada bidang/ fakultas yang dipilihnya.

Kriteria penilaian dengan menggunakan Criterion Refference dapat juga dilakukan untuk tes penempatan yaitu untuk mengukur prerequisit entry skill dimana sample mencakup prerequisit entry behavior dimana tes yang digunakan adalah tes yang mudah. Tes penempatan juga digunakan untuk menentukan entry performance pada tujuan kursus dengan cara menyeleksi sample yang representative pada tujuan kursus, disini tipe item yang digunakan lebih luas dan lebih sukar serta dengan menggunakan kriteria penilaian Norm Reference.
Dalam tes diagnostik kriteria penilaian yang digunakan adalah Criterion Refference. Jenis tes yang digunakan adalah tes obyektif dan tes essay dimana tujuannya adalah untuk menentukan kesukaran belajar sedangkan sample yang digunakan mencakup sampel tugas yang berdasar pada sumber kesalahan belajar.

SYARAT MENJADI EVALUATOR SEBAGAI BERIKUT:
1. Mampu melaksanakan, adalah bahwa mereka harus memiliki kemampuan untuk melaksanakan evaluasi yang didukung oleh teori dan keterampilan praktik.
2. Cermat, adalah mereka dapat melihat celah-celah dan detail dari program serta bagian program yang akan dievaluasi.
3. Objektif, adalah mereka tidak mudah dipengaruhi oleh keinginan pribadi, agar dapat mengumpulkan data sesuai dengan keadaannya, selanjutnya dapat mengambil kesimpulan sebagaimana diatur oleh ketentuan yang harus diikuti.
4. Sabar dan objektif, adalah agar di dalam melaksanakan tugas dimulai dari membuat rancangan kegiatan dalam bentuk menyusun proposal, menyusun instrument, mengumpulkan data, dan menyusun laporan, tidak gegabah dan tergesa-gesa.
5. Hati-hati dan bertanggung jawab, adalah melakukan pekerjaan evaluasi dengan penuh pertimbangan, namun apabila masih ada kekeliruan yang diperbuat, berani menanggung risiko atas segala kesalahannya.
Ada dua kemungkinan asal (dari mana) orang untuk dapat menjadi evaluator program ditinjau dari program yang akan dievaluasi. Masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Menentukan asal evaluator harus mempertimbangkan keterkaitan orang yang bersangkutan dengan program yang akan dievaluasi. Berdasarkan pertimbangan tersebut evaluator dapat dikalsifikasikan menjadi dua macam, yaitu evaluator dalam (internal evaluator) dan evaluasi luar (eksternal evaluator).
Internal Evaluator adalah petugas evaluasi program yang sekaligus merupakan salah seorang dari petugas atau anggota pelaksana program yang dievaluasi. Adapun kelebihan dan kekurangan dari internal evaluator yaitu:
Kelebihan:
Pertama, Evaluator memahami betul program yang dievaluasi sehingga kekhawatiran untuk tidak atau kurang tepatnya sasaran tidak perlu ada. Dengan kata lain evaluasi tepat pada sasaran. Kedua, Karena evaluator aalah orang dalam, pengambil keputusan tidak perlu banyak mengeluarkan dana untuk membayar petugas evaluasi.
Kekurangan:
Pertama, Adanya unsure sebjektifitas dari evaluator, sehingga berusaha menyampaikan aspek positif dari program yang dievaluasi dan menginginkan agar kebijakan tersebut dapat diimplementasikan dengan baik pula. Dengan kata lain, evaluator internal dapat dikhawatirkan akan bertindak subjektif. Kedua, Karena sudah memahami seluk beluk program, jika evaluator yang ditunjuk kurang sabar, kegiatan evaluasi akan dilaksanakan dengan tergesa-gesa sehinga kurang cermat.
Eksternal Evaluator adalah orang-orang yang tidak terkait dengan kebijakan dan implementasi program. Mereka berada di luar dan diminta oleh pengambil keputusan untuk mengevaluasi keberhasilan program atau berada di luar program dan dapat bertindak bebas sesuai dengan keinginan mereka sendiri, maka tim evaluator luar ini biasa dikenal dengan nama tim bebas atau independent team.
Kelebihan:
Pertama, Oleh karena tidak berkepentingan atas keberhasilan program maka evaluator luar dapat bertindak secara objektif selama melaksanakan evaluasi dan mengambil kesimpulan. Apa pun hasil evaluasi, tidak akan ada respons emosional dari evaluator karena tidak ada kepentingan untuk memperlihatkan bahwa program tersebut berhasil. Kesimpulan yang dibuat akan lebih sesuai dengan kenyataan dan keadaan. Kedua, Seorang ahli yang dibayar biasanya akan memprtahankan kredibibilitas kemampuannya. Dengan begitu, evaluator akan bekerja secara serius dan hati-hati.
Kekurangan:
Pertama, Evaluator luar adalah orang baru yang sebelumnya tidak mengenal kebijakan tentang program yang akan dievaluasi. Mereka berusaha mengenal dn mempelajari seluk-beluk program tersebut setelah mendapat permintaan untuk mengevaluasi. Kedua, Pemborosan, pengambil keputusan harus mengeluarkan dana yang cukup banyak untuk membayar evaluator bebas.
Untuk menghasilkan evaluasi yang baik, maka petugas evaluasi harus berasal dari dalam dan luar program, yaitu gabungan antara orang-orang di dalam program digabung dengan orang-orang dari luar. Sedangkan perbedaan menonjol antara evaluator luar dengan evaluator dalam adalah adanya salah satu langkah penting sebelum mereka mulai melaksanakan tugas. Oleh karena evaluator luar adalah pihak asing yang tidak-tahu menahu dan tidak berkepantingan dengan program, yang diasumsikan belum memahami seluk-beluk program maka terlebih dahulu tim tersebut perlu mempelajari program yang akan dievaluasi.

Peta Konsep untuk Mempermudah Konsep Sulit dalam Pembelajaran
Peta konsep merupakan salah satu bagian dari strategi organisasi. Strategi organisasi bertujuan membantu pebelajar meningkatkan kebermaknaan bahan-bahan organisasi bertujuan membantu pebelajar meningkatkan kebermaknaan bahan-bahan baru, terutama dilakukan dengan mengenakan struktur-struktur pengorganisasian baru pada bahan-bahan tersebut. Strategi-strategi organisasi dapat terdiri dari pengelompokan ulang ide-ide atau istilah-istilah atau membagi ide-ide atau istilah-istilah itu menjadi subset yang lebih kecil. Strategi- strategi ini juga terdiri dari pengidentifikasian ide-ide atau fakta-fakta kunci dari sekumpulan informasi yang lebih besar.

Salah satu pernyataan dalam teori Ausubel adalah ‘bahwa faktor yang paling penting yang mempengaruhi pembelajaran adalah apa yang telah diketahui siswa (pengetahuan awal). Jadi supaya belajar jadi bermakna, maka konsep baru harus dikaitkan dengan konsep-konsep yang ada dalam struktur kognitif siswa. Ausubel belum menyediakan suatu alat atau cara yang sesuai yang digunakan guru untuk mengetahui apa yang telah diketahui oleh para siswa (Dahar, 1988: 149). Berkenaan dengan itu Novak dan Gowin (1985) dalam Dahar (1988: 149) mengemukakan bahwa cara untuk mengetahui konsep-konsep yang telah dimiliki siswa, supaya belajar bermakna berlangsung dapat dilakukan dengan pertolongan peta konsep.

a. Pengertian Konsep
Konsep dapat didefenisikan dengan bermacam-macam rumusan. Salah satunya adalah defenisi yang dikemukakan Carrol dalam Kardi (1997: 2) bahwa konsep merupakan suatu abstraksi dari serangkaian pengalaman yang didefinisikan sebagai suatu kelompok obyek atau kejadian. Abstraksi berarti suatu proses pemusatan perhatian seseorang pada situasi tertentu dan mengambil elemen-elemen tertentu, serta mengabaikan elemen yang lain.

Tidak ada satu pun definisi yang dapat mengungkapkan arti yang kaya dari konsep atau berbagai macam konsep-konsep yang diperoleh para siswa. Oleh karena itu konsep-konsep itu merupakan penyajian internal dari sekelompok stimulus, konsep-konsep itu tidak dapat diamati, dan harus disimpulkan dari perilaku.
Dahar menyatakan bahwa konsep merupakan dasar untuk berpikir, untuk belajar aturan-aturan dan akhirnya untuk memecahkan masalah. Dengan demikian konsep itu sangat penting bagi manusia dalam berpikir dan belajar.

Pemetaan konsep merupakan suatu alternatif selain outlining, dan dalam beberapa hal lebih efektif daripada outlining dalam mempelajari hal-hal yang lebih kompleks. Peta konsep digunakan untuk menyatakan hubungan yang bermakna antara konsep-konsep dalam bentuk proposisi-proposisi. Proposisi merupakan dua atau lebih konsep yang dihubungkan oleh kata-kata dalam suatu unit semantik (Novak dalam Dahar 1988: 150).

George Posner dan Alan Rudnitsky dalam Nur (2001b: 36) menyatakan bahwa peta konsep mirip peta jalan, namun peta konsep menaruh perhatian pada hubungan antar ide-ide, bukan hubungan antar tempat. Peta konsep bukan hanya meggambarkan konsep-konsep yang penting melainkan juga menghubungkan antara konsep-konsep itu. Dalam menghubungkan konsep-konsep itu dapat digunakan dua prinsip, yaitu diferensiasi progresif dan penyesuaian integratif. Menurut Ausubel dalam Sutowijoyo (2002: 26) diferensiasi progresif adalah suatu prinsip penyajian materi dari materi yang sulit dipahami. Sedang penyesuaian integratif adalah suatu prinsip pengintegrasian informasi baru dengan informasi lama yang telah dipelajari sebelumnya. Oleh karena itu belajar bermakna lebih mudah berlangsung, jika konsep-konsep baru dikaitkan dengan konsep yang inklusif.

Untuk membuat suatu peta konsep, siswa dilatih untuk mengidentifikasi ide-ide kunci yang berhubungan dengan suatu topik dan menyusun ide-ide tersebut dalam suatu pola logis. Kadang-kadang peta konsep merupakan diagram hirarki, kadang peta konsep itu memfokus pada hubungan sebab akibat. Agar pemahaman terhadap peta konsep lebih jelas, maka Dahar (1988: 153) mengemukakan ciri-ciri peta konsep sebagai berikut:
1) Peta konsep (pemetaan konsep) adalah suatu cara untuk memperlihatkan konsep-konsep dan proposisi-proposisi suatu bidang studi, apakah itu bidang studi fisika, kimia, biologi, matematika dan lain-lain. Dengan membuat sendiri peta konsep siswa “melihat” bidang studi itu lebih jelas, dan mempelajari bidang studi itu lebih bermakna.
2)Suatu peta konsep merupakan suatu gambar dua dimensi dari suatu bidang studi atau suatu bagian dari bidang studi. Ciri inilah yang memperlihatkan hubungan-hubungan proposisional antara konsep-konsep. Hal inilah yang membedakan belajar bermakna dari belajar dengan cara mencatat pelajaran tanpa memperlihatkan hubungan antara konsep-konsep.
3)Ciri yang ketiga adalah mengenai cara menyatakan hubungan antara konsep-konsep. Tidak semua konsep memiliki bobot yang sama. Ini berarti bahwa ada beberapa konsep yang lebih inklusif dari pada konsep-konsep lain.
4) Ciri keempat adalah hirarki. Bila dua atau lebih konsep digambarkan di bawah suatu konsep yang lebih inklusif, terbentuklah suatu hirarki pada peta konsep tersebut.
Peta konsep dapat menunjukkan secara visual berbagai jalan yang dapat ditempuh dalam menghubungkan pengertian konsep di dalam permasalahanya. Peta konsep yang dibuat murid dapat membantu guru untuk mengetahui miskonsepsi yang dimiliki siswa dan untuk memperkuat pemahaman konseptual guru sendiri dan disiplin ilmunya. Selain itu peta konsep merupakan suatu cara yang baik bagi siswa untuk memahami dan mengingat sejumlah informasi baru (Arends, 1997: 251).

b. Cara Menyusun Peta Konsep
Menurut Dahar (1988:154) peta konsep memegang peranan penting dalam belajar bermakna. Oleh karena itu siswa hendaknya pandai menyusun peta konsep untuk meyakinkan bahwa siswa telah belajar bermakna. Langkah-langkah berikut ini dapat diikuti untuk menciptakan suatu peta konsep.
Langkah 1: mengidentifikasi ide pokok atau prinsip yang melingkupi sejumlah konsep.
Langkah 2: mengidentifikasi ide-ide atau konsep-konsep sekunder yang menunjang ide utama
Langkah 3: menempatkan ide utama di tengah atau di puncak peta tersebut
Langkah 4: mengelompokkan ide-ide sekunder di sekeliling ide utama yang secara visual menunjukan hubungan ide-ide tersebut dengan ide utama.

Berdasarkan pendapat di atas dapat dikemukakan langkah-langkah menyusun peta konsep sebagai berikut:
1)Memilih suatu bahan bacaan
2)Menentukan konsep-konsep yang relevan
3)Mengelompokkan (mengurutkan ) konsep-konsep dari yang paling inklusif ke yang paling tidak inklusif
4)Menyusun konsep-konsep tersebut dalam suatu bagan, konsep-konsep yang paling inklusif diletakkan di bagian atas atau di pusat bagan tersebut.
Dalam menghubungkan konsep-konsep tersebut dihubungkan dengan kata hubung. Misalnya “merupakan”, “dengan”, “diperoleh”, dan lain-lain.

c. Peta Konsep sebagai Alat Ukur Alternatif
Tes seperti pilihan ganda yang selama ini dipandang sebagai alat ukur (uji) keberhasilan siswa dalam menempuh jenjang pendidikan tertentu, bukanlah satu-satunya alat ukur untuk menentukan keberhasilan siswa. Tingkat keberhasilan siswa dalam menyerap pengetahuan sangat beragam, maka diperlukan alat ukur yang beragam. Peta konsep adalah salah satu bentuk penilaian kinerja yang dapat mengukur siswa dari sisi yang berbeda. Penilaian kinerja adalah bentuk penilaian yang digunakan untuk menilai kemampuan dan keterampilan siswa berdasarkan pada pengamatan tingkah lakunya selama melakukan penilaian terhadap hasil kerja siswa selama kegiatan. Menurut Tukman dalam Sutowijoyo (2002: 31) penilaian kinerja adalah penilaian yang meliputi hasil dan proses, yang biasanya menggunakan material atau suatu peralatan (equipment). Penilaian kinerja dapat digunakan terutama untuk mengukur tujuan pembelajaran yang tidak dapat diukur dengan baik bila menggunakan tes obyektif. Penilaian kinerja mengharuskan siswa secara aktif mendemonstrasikan apa yang mereka ketahui. Yang paling penting, penilaian kinerja dapat memberi motivasi untuk meningkatkan pengajaran, pemahaman terhadap apa yang mereka perlu ketahui dan yang dapat mereka kerjakan. Berdasarkan teori belajar kognitif Ausubel, Novak dan Gowin (1984) dalam Dahar (1988: 143) menawarkan skema penilaian yang terdiri atas: Struktur hirarki, perbedaan progresif, dan rekonsiliasi integratif.

Struktur hirarkis, yaitu struktur kognitif yang diatur secara hirarki dengan konsep-konsep dan proposisi-proposisi yang lebih inklusif, lebih umum, superordinat terhadap konsep-konsep dan proposisi-proposisi yang kurang inklusif dan lebih khusus. Perbedaan progresif menyatakan bahwa belajar bermakna merupakan proses yang kontinyu, dimana konsep-konsep baru memperoleh lebih banyak arti dengan bentuk lebih banyak kaitan-kaitan proporsional. Jadi konsep-konsep tidak pernah tuntas dipelajari, tetapi selalu dipelajari, dimodifikasi, dan dibuat lebih inklusif. Rekonsiliasi integratif menyatakan bahwa belajar bermakna akan meningkat bila siswa menyadari akan perlunya kaitan-kaitan baru antara kumpulan-kumpulan konsep atau proposisi. Dalam peta konsep, rekonsiliasi integratif ini diperlihatkan dengan kaitan-kaitan silang antara kumpulan-kumpulan konsep (Dahar,1988: 162)

Selanjutnya Novak dan Gowin memberikan suatu aturan untuk mengikuti penilaian numerik jika skoring dipandang perlu. Pertama, skoring didasarkan atas preposisi yang valid. Kedua, untuk menghitung level hirarkis yang valid dan untuk menskor tiap level sebanyak hubungan yang dibuat. Ketiga, crosslink yang menunjukan hubungan valid antara dua kumpulan (segmen) yang berbeda adalah lebih penting daripada level hirarkis, karena mungkin saja ini pertanda adanya penyesuaian yang integratif. Keempat, diharapkan siswa dapat memberikan contoh yang spesifik dalam beberapa kasus untuk meyakinkan bahwa siswa mengetahui peristiwa atau obyek yang ditunjukan oleh label konsep.

Jenis-jenis Peta Konsep
Menurut Nur (2000) dalam Erman (2003: 24) peta konsep ada empat macam yaitu: pohon jaringan (network tree), rantai kejadian (events chain), peta konsep siklus (cycle concept map), dan peta konsep laba-laba (spider concept map).
1) Pohon Jaringan.
Ide-ide pokok dibuat dalam persegi empat, sedangkan beberapa kata lain dihubungkan oleh garis penghubung. Kata-kata pada garis penghubung memberikan hubungan antara konsep-konsep. Pada saat mengkonstruksi suatu pohon jaringan, tulislah topik itu dan daftar konsep-konsep utama yang berkaitan dengan topik itu. Daftar dan mulailah dengan menempatkan ide-ide atau konsep-konsep dalam suatu susunan dari umum ke khusus. Cabangkan konsep-konsep yang berkaitan itu dari konsep utama dan berikan
hubungannya pada garis-garis itu (Nur dalam Erman 2003: 25)

Pohon jaringan cocok digunakan untuk memvisualisasikan hal-hal:
- Menunjukan informasi sebab-akibat
- Suatu hirarki
- Prosedur yang bercabang

Istilah-istilah yang berkaitan yang dapat digunakan untuk menjelaskan hubungan-hubungan.
1) Rantai Kejadian.
Nur dalam Erman (2003:26) mengemukakan bahwa peta konsep rantai kejadian
dapat digunakan untuk memerikan suatu urutan kejadian, langkah-langkah dalam suatu prosedur, atau tahap-tahap dalam suatu proses. Misalnya dalam melakukan eksperimen.

Rantai kejadian cocok digunakan untuk memvisualisasikan hal-hal:
- Memerikan tahap-tahap suatu proses
- Langkah-langkah dalam suatu prosedur
- Suatu urutan kejadian

2) Peta Konsep Siklus
Dalam peta konsep siklus, rangkaian kejadian tidak menghasilkan suatu hasil akhir. Kejadian akhir pada rantai itu menghubungkan kembali ke kejadian awal. Seterusnya kejadian akhir itu menhubungkan kembali ke kejadian awal siklus itu berulang dengan sendirinya dan tidak ada akhirnya. Peta konsep siklus cocok diterapkan untuk menunjukan hubungan bagaimana suatu rangkaian kejadian berinteraksi untuk menghasilkan suatu kelompok hasil yang berulang-ulang. Gambar 2.5 memperlihatkan siklus tentang hubungan antara siang dan malam.

3) Peta Konsep Laba-laba
Peta konsep laba-laba dapat digunakan untuk curah pendapat. Dalam melakukan curah pendapat ide-ide berasal dari suatu ide sentral, sehingga dapat memperoleh sejumlah besar ide yang bercampur aduk. Banyak dari ide-ide tersebut berkaitan dengan ide sentral namun belum tentu jelas hubungannya satu sama lain. Kita dapat memulainya dengan memisah-misahkan dan mengelompokkan istilah-istilah menurut kaitan tertentu sehingga istilah itu menjadi lebih berguna dengan menuliskannya di luar konsep utama. Peta konsep laba-laba cocok digunakan untuk memvisualisasikan hal-hal:
a) Tidak menurut hirarki, kecuali berada dalam suatu kategori
b) Kategori yang tidak paralel
c) Hasil curah pendapat

Proses mengajarkan strategi belajar digunakan dua pendekatan pengajaran utama, yaitu pengajaran langsung dan pengajaran terbalik (Nur 2000b: 45). Pengajaran langsung merupakan suatu pendekatan mengajar yang dapat membantu siswa mempelajari keterampilan dasar dan memperoleh informasi yang dapat diajarkan selangkah demi selangkah. Dalam melatihkan strategi belajar secara efektif memerlukan pengetahuan deklaratif, prosedural, dan kondisional tentang strategi-strategi belajar. Pengetahuan deklaratif tentang strategi-strategi tertentu termasuk bagaimana strategi itu didefinisikan, mengapa strategi itu berhasil, dan bagaimana strategi itu serupa atau berbeda dengan strategi-strategi lain. Siswa juga memerlukan pengetahuan prosedural, sehingga mereka dapat menggunakan berbagai macam strategi secara efektif. Di samping itu juga menggunakan pengetahuan kondisional untuk mengetahui kapan dan mengapa menggunakan strategi tertentu.

Salah satu alasan menggunakan pengajaran langsung dalam mengajarkan strategi belajar adalah karena pengajaran langsung diciptakan secara khusus untuk mempermudah siswa dalam mempelajari pengetahuan deklaratif dan prosedural yang telah direncanakan dengan baik serta dapat mempelajarinya selangkah demi selangkah (Arends 1997) dalam Nur (2000b: 46).
Pada Tabel 2.2 sintaks pengajaran langsung yang diadaptasikan untuk mengajarkan strategi belajar, dan dilengkapi dengan teori yang mendukung sebagai landasan pelaksanaan pengajaran strategi belajar.

Tahap-tahap Pengajaran Langsung dalam Melatihkan Strategi Belajar
Tahap 1
1. Menyampaikan tujuan pembelajaran.
2. Memotivasi siswa.

Tahap 2
1. Secara klasikal menjelaskan strategi menggarisbawahi dan pemetaan konsep.
2. Memodelkan strategi Mengarisbawahi dan membuat peta konsep.

Tahap 3
Melatihkan siswa menggunakan strategi menggarisbawahi dan pemetaan konsep dibawah bimbingan guru.

Tahap 4
1. Memeriksa pemahaman siswa terhadap strategi menggarisbawahi dan pemetaan konsep
2. Memberi umpan balik hasil pemahaman siswa terhadap strategi menggarisbawahi dan pemetaan konsep.

Tahap 5
Melatih sisawa untuk menerapkan strategi belajar menggarisbawahi dan membuat peta konsep secara mandiri.

Tahap 6
1. Mengevaluasi tugas latihan menggarisbawahi dan membuat peta konsep.
2. Membimbing siswa untuk merangkum pelajaran